Cerita Oknum Polri “nakal” bukanlah cerita yang asing ditelinga. Sudah sejak lama perilaku menyimpang yang muncul dari oknum Polri menjadi arang hitam bagi kewibawaan lembaga Kepolisian.
Sehingga tak heran, bila pada saat ini POLRI tengah melakukan bersih-bersih dan membuang segala onak dan duri di dalam tubuh Polri. Walaupun demikian, masih banyak beberapa LSM dan pengamat kepolisian yang memberikan raport merah kepada Polri.
Hal tersebut merupakan hal yang wajar, ibarat seseorang yang akan memutihkan kulit, tentu tidak akan serta merta menjadi putih, harus bertahap dan memakan jangka waktu yang lama.
Untuk mempercepat proses tersebut, maka seluruh lapisan masyarakat wajib membekali dirinya akan pengetahuan mengenai Hukum Kepolisian itu sendiri, minimal membentengi diri masyarakat sendiri dari perilaku menyimpang oknum Polisi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Kepolisian) telah ditegaskan bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Adapun tujuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Hukum Pidana, maka tugas Kepolisian antara lain adalah menegakan hukum dengan menjunjung Hak Asasi Manusia sebagai wujud dari fungsi pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat.
Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, UU Kepolisian memberikan kewenangan kepada Kepolisian sebagai berikut:
1. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;