Mohon tunggu...
Dyna Rochmyaningsih
Dyna Rochmyaningsih Mohon Tunggu... -

Seorang jurnalis sains lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempercayai Ilmuwan Indonesia

1 April 2014   22:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:13 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak orang memaklumi kepergian ilmuwan-ilmuwan Indonesia ke luar negeri. Mereka maklum karena, menurut mereka, ilmuwan tidak dihargai dengan pantas di Indonesia. Itu fakta.

Cobalah Anda ketik frase “ilmuwan Indonesia” di Google, hasil yang akan keluar di halaman pertama adalah artikel-artikel yang menyandingkan kata tersebut dengan kata “luar negeri”.

Dalam konteks individu, tidak ada hal yang salah dengan hal itu. Ilmuwan juga seorang manusia yang mempunyai kebutuhan hidup baik itu berupa pendapatan finansial maupun aktualisasi diri dengan bekerja di Institusi luar negeri yang bergengsi.

Namun kali ini saya ingin berbicara tentang mereka dalam lingkup Indonesia. Apapun alasan pribadi mereka untuk ke luar negeri, selama mereka masih memegang kewarganegaraan Indonesia, mereka tetaplah bagian dari bangsa ini yang sejatinya sah sebagai modal pembangunan.

Izinkan saya bercerita.

Sebagai seorang jurnalis sains lepas, saya seringkali berdiskusi dengan para ilmuwan Indonesia. Dalam impresi saya, mereka semua adalah orang-orang yang tak kalah pintar dengan ilmuwan di Eropa, Amerika, ataupun Jepang. Dan hal unik yang membuat mereka lebih hebat bagi kita adalah: mereka mengerti Indonesia.

Ilmuwan luar negeri boleh saja memiliki banyak publikasi di jurnal bergengsi. Namun semua itu tidak ada gunanya jika tidak bisa diaplikasikan untuk memecahkan persoalan bangsa ini. Ilmuwan Indonesia bergerak di bidang ilmiah yang memang dibutuhkan oleh negeri ini. Dan mirisnya, kerja mereka seringkali tidak dipercaya. Berikut adalah dua contoh kasus.

Pemberian obat kaki gajah

Dr. Taniawati Supali adalah ahli parasitologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Beliau melakukan world-class research mengenai eliminasi penyakit tropis yang disebabkan oleh cacing, jenis penyakit yang bisa mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui penurunan produktivitas buruh.

Namun Dr. Taniawati mengeluhkan bagaimana Departemen Kesehatan tidak mau mendengarkan rekomendasi mereka. Depkes, seperti halnya lembaga pemerintah yang lain, cenderung mengikuti rekomendasi WHO yang notabene tidak menyesuaikan kondisi unik Indonesia. Untuk kasus penyakit kaki gajah, Depkes mengikuti rekomendasi WHO untuk memberikan obat cacing 1 tahun 1 kali. Hal ini, menurut, Dr. Taniawati, tidak akan berhasi mengeliminasi penyakit  kaki gajah karena spesies dominan di Indonesia adalah Brugia malayi yang sudah beranjak dewasa dalam usia 3 bulan.

Saya bertanya pada Dr. Taniawati, mengapa Depkes lebih memilih mengikuti WHO, dan beliau hanya berkata “ya begitulah pemerintah kita, seringkali tidak percaya pada bangsa sendiri”

Penyebab Lumpur Lapindo

Bagus Endar Bachtiar adalah ahli geologi dari Fisika ITB. Beliau adalah orang yang menantang hasil penemuan seorang ilmuwan Jerman mengenai lpenyebab dari lumpur Lapindo Brantas. Ilmuwan jerman tersebut mengatakan bahwa lumpur Lapindo adalah suatu fenomena natural dan murni disebabkan oleh alam. Dengan menggunakan simulasi komputer, ilmuwan jerman tersebut menyimpulkan bahwa penyebab lumpur Lapindo adalah gelombang gempa Yogyakarta yang terjadi beberapa waktu sebelum “meledak”nya Lusi. Penelitian ini diterbitkan di Nature tahun 2012 lalu.

Menanggapi ide ini, Bagus Endar Bachtiar, hanya bisa terkekeh dan kemudian memberikan sejumlah pertanyaan. Jika memang lumpur Lapindo disebabkan oleh gelombang gempa, mengapa lumpur hanya meledak di Sidoarjo dan tidak di daerah-daerah lain antara Yogyakarta dan Sidoarjo? Menurut Bagus, semestinya ledakan lumpur juga muncul di daerah tersebut karena daerah antara Yogyakarta dan Sidoarjo memiliki formasi batuan geologi yang sama.

Saya bertanya, menurut bapak, apakah valid hasil penelitian ilmuwan jerman tersebut? Beliau hanya terkekeh dan berkata “Saya ini orang kulit hitam mbak, siapa yang mau percaya saya?”

Dua kasus di atas adalah contoh tentang bagaimana ilmuwan Indonesia tidak dihargai. Bukan hanya soal uang, tapi soal kepercayaan.  Pemerintah kita tidak percaya pada mereka. Lembaga-lembaga pemerintah lebih suka menyambut penelitian-penelitian luar negeri yang dikerjakan oleh orang asing. Suka atau tidak, mental bangsa kita masih terjajah.

Lantas bagaimanakah kita harus percaya? Kuncinya adalah nasihat untuk  pemerintah: dengarkan ilmuwan kita, dan pertimbangkan hasil penelitian mereka ke dalam kebijakan-kebijakan nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun