Ceritera Dulu Dulu pada jaman penjajahan Belanda disekitar kaki Gunung Manglayang ini merupakan afdeling atau perkebunan. Untuk menjaga perkebunan tersebut ada sebuah bangunan yang keseluruhannya berwarna merah. Itulah sebabnya daerah ini dinamakan Baru Beureum.
Pepohonan pada awal-awal tidak begitu rimbun bahkan lebih didominasi sejenis pohon perdu, hingga jika sudah siang udara panas terasa cukup menyengat. Namun pemandangan yang dapat dinikmati sepanjang perjalanan pada sebagian lembahnya cukup menarik. Pada satu sisi dapat melihat sebagian wilayah Jatinangor dan pada sisi yang lain dapat melihat hijaunya lembah yang berada persis di kaki puncak Gunung Manglayang. Gunung Manglayang—yang disebut dalam legenda Sangkuriang—merupakan bagian dari rangkaian pegunungan Gunung Burangrang—Tangkuban Perahu—Bukit Tunggul—Gunung Manglayang. Memiliki ketinggian sampai 1.818 meter diatas permukaan air laut (dpl), menjadikan gunung ini sebagai yang terendah dari rangkaian empat gunung tersebut.
Mungkin disebabkan terlalu rendah itulah Gunung Manglayang sempat terlupakan di kalangan para pendaki gunung, terkecuali pegiat alam bebas dari Bandung dan sekitarnya. Jalur pendakian ke gunung ini biasanya dilalui dengan beberapa jalur yakni Bumi Perkemahan, Palintang (Ujung Berung), Wanawisata Situs Batu Kuda (Kab Bandung), Baru Beureum (Jatinangor).
Trek pendakian melalui jalur timur Gunung Manglayang mempunyai kemiringan berkisar 45 – 75 derajat dan nyaris tanpa bonus atau jalur yang mendatar. Namun ada beberapa tempat yang sedikit datar bisa dijadikan tempat untuk sekedar beristirahat. Jika diumpamakan trek pendakian melalui jalur timur, Baru Beureum ini mirip trek pendakian Gunung Gede melalui jalur gunung putri. Keasrian puncak Manglayang
Suasana hutan yang rimbun serta jalur yang bersih menjadikan perjalanan yang ditempuh bisa terasa lebih cepat. Suasana puncak Gunung Manglayang hampir mirip dengan suasana sekitar puncak Salak I. Cukup luas, dimana bisa menampung cukup banyak tenda dengan lokasi yang terlindung oleh rimbunnya pepohonan.
Gunung Manglayang: Menara Penjaga di Timur Legenda Sangkuriang
Jalur utama pendakian, kawasan Batu Kuda terdapat batu-batu seperti kuda
Dari Puncak Timur menuju puncak Manglayang, hutannya masih cukup asri. Puncak Manglayang cukup luas dan teduh dengan rimbunnya pepohonan. Di puncak juga terdapat sebuah makam keramat. Pendakian melalui Jalur Batu Kuda cukup unik. Di kawasan ini terdapat batu-batu besar berserakan dengan bentuk khas. Ada yang seperti kuda, lawang atau pintu, dan sebagainya. Berkemah di antara hutan pinus kawasan Batu Kuda juga terasa menyegarkan. Jalur Pendakian Ada beberapa jalur pendakian yang umum dilalui, di antaranya adalah melalui Wanawisata Situs Batu Kuda, Kab. Bandung; Palintang, Ujung Berung, Kab. Bandung; dan Bumi Perkemahan Kiara Payung lalu menuju Desa Baru Beureum/Manyeuh Beureum, Jatinangor, Kab. Sumedang. Mendaki melalui Wanawisata Situs Batu Kuda, dapat melapor di gerbang wanawisata. Informasi Umum Tinggi : 1.818 mdpl Lokasi Administrasi: Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang Kota Terdekat: Jatinangor dan Ujung Berung Waktu Pendakian: 3-4 jam dari titik awal pendakian hingga puncak gunung Sosok Hantu Brewok tertangkap kamera di Gunung Manglayang Menguak keangkeran Gunung Manglayang memang menegangkan. Gunung yang memiliki ketinggian 1.800 m di atas permukaan laut ini terletak di Sumedang, Jawa Barat. Kharisma mistik gunung ini kerap menggetarkan setiap pungunjung. Penampakan mahluk gaib sering terjadi di kawasan ini. Setelah menempuh perjalanan panjang melelahkan, di suatu tempat berselimut kabut, tim menemukan kuburan tua yang di atas pusaranya tumbuh pohon Hanjuang. Getaran mistis terasa kuat. Dan benar adanya, beberapa penampakan berhasil tertangkap kamera. Salah satunya, sosok hantu brewok.
Kuda Lumping Dari Gunung Manglayang
Selain beberapa kesenian tradisonal sunda seperti Degung, Longser, benjang, kuda ronggeng atau tayuban lainnya, ada satu kesenian yang tidak kalah tersohor dikalangan masyarakat sunda yaitu “Kuda Lumping”. Dari pamor yang ada ini menembus ke berbagai kalangan tentunya seperti halnya di ceritakan dalam bait-bait lagu yang tidak melewatkan kesempatan dengan mengambil tema masalah kuda lumping ini sebagai syair atau lirik lagu. Sebagai contoh, Desa Ciwaru yang terletak di kaki Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung, Jabar, masih terkenal dengan adanya kesenian kuda lumping yang memeriahkan berbagai hajatan/khitanan. Kegemaran terhadap seni ini biasanya berlangsung secara turun-temurun. Tak mengherankan, bila segala kegiatan yang berhubungan dengan kuda lumping maupun kuda renggong berpusat di beberapa tempat yang sudah dikenal sebelumnya. Misalnya saja kuda renggong yang kita kenal itu banyak di daerah Sumedang. Kalau tepatnya saya juga tidak begitu hapal. Begitu pula dengan kuda lumping, masih sering muncul keberadaannya di sekitar Bandung Timur ini, konon katanya kesenian ini berlangsung secara turun-temurun dari leluhur mereka. Kesenian ini biasanya ada pada warga yang melakukan hajatan (sunatan). Biasanya diramaikan dengan bunyi-bunyian terompet dan gendang. Dan bila bunyi-bunyian tersebut terdengar penduduk sekitar, hal ini menandakan ada suatu keramaian, lantas hampir seluruh penduduk desa di kaki gunung tersebut tumpah ruah di depan rumah milik seorang warga yang akan menggelar acara hajatan tersebut. Sejak puluhan tahun silam atau mungkin lewat, khitanan di desa ini memang tak pernah lepas dari sebuah tradisi. Yakni, upacara memandikan dan mengarak pengantin sunat atau anak yang akan dikhitan. Tradisi ini diawali dengan pembacaan mantra penolak bala oleh salah seorang tetua desa. Agar prosesi khitanan berjalan lancar dan sang anak terhindar dari berbagai gangguan dari Batara Kala. Sudah menjadi tradisi turun-menurun pula seorang bocah lelaki yang akan dikhitan diberi pendamping anak perempuan seusianya, layaknya sepasang calon mempelai. Kedua anak yang juga sering disebut pengantin sunat ini lantas dimandikan dengan air suci yang bersumber dari pegunungan di Parahyangan Timur. Upacara ini dilakukan agar fisik dan batin si anak menjadi bersih, seputih beras yang dijadikan simbol. Usai dimandikan, pasangan pengantin sunat ini diarak dengan jampana, yaitu kursi tandu yang dipanggul empat orang dewasa. Mereka memutari desa dengan diiringi musik bamplang untuk mengabarkan ke seluruh desa bahwa esok hari si anak akan menjalani salah satu ritual yang dianjurkan agama Islam, yakni khitanan. Dan sepanjang jalan yang dilalui, musik tak henti-hentinya ditabuh. Antusiasme penonton yang sebagian besar warga pun meningkat. Wajarlah, kesenian kuda lumping yang dipertontonkan sanggar kuda lumping ini pun kerapkali diwarnai berbagai atraksi magis. Unjuk kebolehan itu semuanya dalam pengawasan ahlinya atau disebut juga dengan pawang. Para penduduk biasanya mempercayai pawang tersebut memiliki kemampuan supranatural tinggi. Apalagi pemimpin sanggar kuda lumping itu biasanya cukup lama melatih anak-anak asuhnya untuk bermain kuda lumping dengan berbagai atraksi menakjubkan. Keramaian kuda lumping mencapai puncak ketika para pemain tampak kesurupan. Dalam keadaan tanpa sadar, mereka melakukan hal-hal yang tak wajar. Semisal memakan ayam hidup-hidup atau beling (pecahan kaca). Cuma pawanglah yang nantinya dapat menghentikan segala atraksi tersebut, seperti hal memulainya. Para pemain kuda lumping dituntun untuk berbaring di atas tikar. Selanjutnya, pawang menyelimuti seluruh tubuh mereka dengan selembar kain. Setelah membacakan mantra, para pemain kuda lumping itu kembali sadar sediakala dan seolah tak pernah terjadi apa-apa. sumber: gispala.wordpress.com, kasakusuk.com,bandung.panduanwisata.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya