Sebagai contoh, pada pagi hari harga 1 kg daging ayam bernilai 12.000.000 Bolivar, namun pada sore hari bisa berubah menjadi 2-3 kali lipatnya. Bisa dibayangkan kalau untuk membeli daging ayam saja masyarakat perlu membawa sekeranjang uang.Â
Beberapa media menggambarkan uang Bolivar yang digunakan sebagai alas atau pembungkus barang.Â
Money changer tidak mampu mengatasi besarnya permintaan terhadap mata uang asing terutama dolar Amerika. Satu-satunya cara mereka bisa mendapatkan dollar yaitu melalui black market.Â
Rendahnya nilai mata uang Bolivar disikapi pemerintah dengan redenominasi sebanyak 5 angka 0 (100000 Bolivar lama setara dengan 1 Bolivar baru). Namun tetap saja, nilai mata uangnya tidak berubah hanya nominalnya saja.
Situasi ekonomi yang kemudian semakin parah dengan adanya kemelut politik, pasalnya banyak warga Venezuela meminta Presiden Maduro mundur dari jabatannya. Maduro justru mengadakan voting yang memperkuat posisinya sebagai presiden.Â
Tindakan ini memicu Presiden AS, Donald Trump, memberi sanksi berupa larangan berdagang (embargo) dengan Venezuela karena dianggap mencederai nilai demokrasi.
Benar-benar sudah jatuh tertimpa tangga, kuas, cat beserta atapnya kalau diibaratkan kondisi Venezuela. Masyarakat kesulitan mendapatkan barang kebutuhan pokok karena langka, menyimpan uang pun tidak memberi solusi karena nilainya terus menurun.Â
Sehingga tidak mengherankan banyak yang memilih meninggalkan negara Venezuela untuk bekerja. Saking banyaknya, beberapa negara tetangga mulai membatasi pengunjung dari Venezuela yang ingin bekerja. Dikhawatirkan jika kedatangan penduduk secara massive akan mempengaruhi situasi ekonomi dan over supply tenaga kerja.
Sebuah pelajaran bagi bangsa kita yang dikatakan mempunyai sumber daya alam melimpah, jika terjadi miss management tentunya dapat menjadi bumerang bagi negeri sendiri.Â