Menurut Pierre Bourdieu, agama bukan sekadar urusan spiritual atau keyakinan pribadi; ia juga merupakan "arena" sosial yang penuh dinamika. Setiap orang membawa habitus---pola pikir, sikap, dan kebiasaan yang terbentuk dari keluarga atau lingkungan. Misalnya, seseorang yang tumbuh dalam keluarga religius mungkin merasa bahwa cara tertentu dalam beribadah adalah satu-satunya yang benar. Inilah yang Bourdieu sebut habitus, suatu pola yang sudah mendarah daging dalam diri seseorang dan memengaruhi bagaimana ia memandang agama.
Selain itu, Bourdieu memperkenalkan konsep kapital, yang tidak hanya berupa ekonomi, tetapi juga kapital sosial dan simbolik. Dalam konteks agama, kapital sosial bisa berupa hubungan atau pengaruh dalam komunitas keagamaan, sedangkan kapital simbolik adalah status sebagai tokoh agama atau pemuka. Orang dengan kapital simbolik tinggi sering kali lebih didengar dan dihormati, meskipun pandangannya mungkin sama dengan orang lain.
Agama adalah arena di mana setiap orang berkompetisi, secara halus atau terang-terangan, untuk menunjukkan kedekatan atau ketakwaan. Sebagai contoh, seseorang mungkin memilih berbusana tertentu atau menghadiri semua kegiatan keagamaan agar dipandang lebih religius. Bagi Bourdieu, praktik agama mencerminkan lebih dari sekadar iman; ia adalah refleksi struktur sosial yang membentuk dan membatasi bagaimana orang memandang dan menjalankan keyakinan. Di balik ibadah sehari-hari, ada proses sosial yang kompleks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H