Dewasa itu bukan cuma soal umur, tapi soal bagaimana hidup mulai mengubah cara kita memandang dunia. Dulu, waktu sekolah, tiap hari terasa kayak petualangan seru. Sepulang sekolah, nongkrong bareng teman-teman, main bola di lapangan, dan ketawa-ketiwi tanpa beban. Semua itu kayak film komedi yang nggak ada habisnya. Lalu, masuk masa kuliah, kita mulai semangat ikut organisasi, demo sana-sini, ngerasa jadi agen perubahan. Idealismenya menggebu-gebu. Berdebat sampai larut malam di warung kopi, ngerasa suara kita bakal mengubah negeri ini.
Tapi sekarang? Semua keriangan itu berubah jadi rutinitas: kerja dari pagi sampai malam, pulang capek cuma pengen tidur, bangun lagi esok harinya. Weekend yang dulu penuh acara seru bareng teman, sekarang diisi ngurus cucian, bayar tagihan, atau ngajak anak jalan-jalan. Aktivisme yang dulu dibela mati-matian kini jadi kenangan masa muda, karena realitasnya, hidup nggak bisa sekadar berteriak "hidup rakyat!"
Menjadi dewasa bukan berarti kita nggak boleh bahagia, tapi kebahagiaan berubah bentuknya. Nggak lagi sekadar ketawa sama teman, tapi puas bisa bayar cicilan, lega bisa bikin anak tersenyum. Keriangan masa muda itu tetap indah buat dikenang, meski nggak bisa lagi diulang. Dan itu bukan berarti kita kehilangan semuanya---kita cuma berubah cara menikmati hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H