Perdebatan antara Guru Gembul dan Muhammad Nuruddin tentang apakah akidah Islam bisa dibuktikan secara ilmiah memang menarik perhatian. Di satu sisi, Guru Gembul mencoba melihat akidah melalui kacamata rasional dan scientific. Sementara di sisi lain, Nuruddin menekankan bahwa dalam tradisi Islam, "ilmiah" punya definisi yang berbeda, yakni berdasarkan fakta empiris, akal, dan wahyu yang sahih.
Di sinilah kesalahpahaman utama muncul. Guru Gembul salah platform. Ia membawa konsep "ilmiah" dalam pengertian sains modern, yang menekankan objektivitas, data, dan fakta terukur. Namun, dalam konteks Islam, ilmiah juga mencakup wahyu sebagai sumber kebenaran. Seperti bermain sepak bola di lapangan basket, perdebatan mereka akhirnya tidak nyambung. Guru Gembul seperti memaksakan logika sains pada wilayah yang tidak sepenuhnya tunduk pada kerangka scientific.
Nuruddin, sebagai sarjana Islam, lebih memahami tradisi keilmuan Islam yang menempatkan wahyu sebagai landasan. Jadi, bagi Nuruddin, akidah memang sahih secara ilmiah dalam definisi Islam, karena di sana wahyu merupakan sumber kebenaran yang otoritatif. Sementara bagi Guru Gembul, kebenaran haruslah bisa diukur dan dibuktikan secara rasional tanpa mengandalkan wahyu.
Di sini, terlihat bahwa Guru Gembul mencoba beriman secara rasional, tapi dengan satu kaki di wilayah sains dan satu kaki di wilayah iman. Akibatnya, bukannya menemukan jalan tengah, ia justru terjebak dalam kebingungan antara dua pijakan yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H