Majunya pelawak Marshel Widianto sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan menimbulkan banyak perdebatan. Sebagai seorang komedian, Marshel mungkin dikenal luas oleh masyarakat dan memiliki daya tarik tersendiri. Namun, dalam konteks politik, pertanyaan utama adalah apakah popularitas semata cukup untuk memimpin sebuah kota dengan segala kompleksitasnya.
Marshel tidak memiliki kapasitas politik yang mumpuni. Rekam jejaknya di dunia politik nyaris tidak ada, dan pengalamannya lebih banyak berkisar pada dunia hiburan. Selain itu, ia pernah tersandung kasus pembelian konten porno, yang menunjukkan ketidakmatangan dalam mengambil keputusan. Sering datang telat saat mengisi acara hiburan televisi juga mencerminkan kurangnya disiplin, yang menjadi salah satu kualitas penting dalam kepemimpinan.
Pemilihan kepala daerah seharusnya menyuguhkan kualitas pemimpin terbaik yang mampu membawa perubahan positif. Namun, yang sering kita saksikan adalah lebih mengutamakan popularitas. Pemimpin dipilih bukan karena kapasitas dan integritasnya, tetapi karena mereka bisa tampil sebagai "badut politik" yang meningkatkan rating dan popularitas partai atau koalisi yang mengusungnya.
Fenomena ini mencerminkan degradasi nilai dalam politik kita. Pemimpin dengan visi dan misi jelas sering kali terpinggirkan oleh mereka yang hanya mengandalkan daya tarik personal dan popularitas media. Masyarakat seolah diajak menonton pertunjukan hiburan daripada menyaksikan proses seleksi pemimpin yang berkualitas. Jika terus dibiarkan, ini bisa membawa dampak negatif jangka panjang bagi perkembangan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Pemilih perlu lebih kritis dan tidak mudah terbuai oleh popularitas semata. Memilih pemimpin bukan sekadar memilih figur yang terkenal, tetapi memilih seseorang yang mampu membawa perubahan nyata dan positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H