Janji-janji manis dalam kampanya kadang tak masuk akal. Banyak kasus janji tersebut seakan ditujukan untuk kebutuhan rakyat, tetapi faktanya justru merugikan rakyat luas.
Misalnya, janji capres nomor urut 02 Prabowo Subianto yang akan menurunkan tarif listrik sebesar 20 persen dalam 100 hari.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, bukan tidak mungkin tarif listrik turun sebesar 20 persen dalam 100 hari. Syaratnya, perlu tambahan subsidi menjadi Rp 100-120 triliun dari saat ini Rp 57 triliun.
Namun Ignasius Jonan mempertanyakan apakah uang Rp 55-60 triliun lebih baik untuk menambah subsidi, atau membangun infrastruktur kelistrikan hingga ke desa pelosok Indonesia. Pasalnya saat ini, masih ada daerah timur Indonesia yang belum tersambung listrik.
Bila hanya ditujukan untuk menurunkan tarif listrik saja, maka subsidi ini menjadi tidak tepat sasaran dan tidak memenuhi prinsip keadilan, sebab masih terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang belum terakses listrik. Mereka yang tak mendapatkan listrik berarti tak mendapatkan apa-apa, walaupun diturunkan tarifnya.
Berbeda dengan orientasi pemerintahan saat ini. Subsidi dikurangi untuk kelas menengah demi tercapainya rasio elektrifikasi yang lebih tinggi. Artinya, subsidi untuk menambah jaringan listrik yang baru bagi mereka yang belum mendapatkan listrik.
Selaras dengan Jonan, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa juga menyatakan bahwa penurunan tarif listrik selain membebani APBN lantaran subsidi melonjak juga akan membebani keuangan PLN. Penurunan tarif listrik akan membuat PLN makin merugi dan berimbas pada rating investasi pemerintah.
Hampir sama juga, ekonom INDEF Berly Martawardaya menyatakan bahwa penurunan harga listrik dalam jangka pendek agak sulit dilakukan, kecuali harga energi (migas dan batu bara) turun drastis, atau ada penambahan subsidi energi di APBNP 2019.
Pendapat beberapa ekonom, ditambah dengan sanggahan dari menteri di atas menunjukan bahwasanya janji Prabowo hanyalah pepesan kosong. Penurunan tarif itu sangat riskan, bahkan cenderung tak masuk akal bagi pertimbangan kebijakan publik yang sehat.
Janji itu hanya untuk menarik suara, tetapi belum tentu akan direalisasikan bila menjadi Presiden. Kalaupun diwujudkan maka yang paling dirugikan adalah rakyat kembali.
Mengapa? Karena logikanya sudah salah sejak awal.