Mohon tunggu...
Kebijakan Pilihan

Indonesia Dalam Tren Modernisasi Alutsista Angkatan Laut Negara Kawasan Laut China Selatan

12 Agustus 2018   21:20 Diperbarui: 14 Agustus 2018   11:50 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Modernisasi Alutsista Di Kawasan Laut China Selatan

Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak pada 6o LU – 11o LS dan 95o BT – 141o BT. Keadaan geografis yang dimiliki Indonesia tersebut menjadikan negara ini memiliki ciri khas tersendiri, seperti posisi Indonesia yang berada di antara dua samudera (Samudera Pasifik dan Samudera Hindia) dan dua benua (Benua Asia dan Benua Australia), hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia sebagai negara yang dilewati jalur perdagangan internasional. Selain itu, dengan luas wilayah laut Indonesia sebesar 3.257.483 km2 dengan panjang garis pantai 54.716 km atau dengan kata lain luas lautan yang kita miliki hampir 70% dari total keseluruhan luas negara Indonesia.

Potensi besar yang dimiliki Indonesia di sisi kelautannya menjadikan hal yang wajar bila Indonesia ingin menjadi Poros Maritim Dunia. Poros maritim merupakan sebuah gagasan strategis yang diwujudkan untuk menjamin konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut serta fokus pada keamanan maritim. Untuk menjadi sebuah negara maritim, maka infrastrukur di sepanjang pantai dan antar pulau merupakan hal yang harus dibangun dan dikembangkan. Sistem pelabuhan di Indonesia harus dimodernisasi sesuai dengan standar internasional sehingga pelayanan dan akses di seluruh pelabuhan harus mengikuti prosedur internasional. Jalan antar pulau ini harus benar - benar dapat direalisasikan untuk mempercepat transportasi antar pulau di Indonesia.

Indonesia sebagai poros maritim dunia bukan berarti tidak memiliki tantangan dalam mewujudkan hal tersebut. Demi tercapainya visi menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia yang disegani ini, mengharuskan Indonesia untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan laut yang dimilikinya dari segala bentuk ancaman, agar potensi yang dimiliki laut Indonesia dapat dimaksimalkan penggunaannya untuk kemakmuran Indonesia. Keamanan maritim sebagai salah satu fokus Poros Maritim Dunia mendapatkan tantangan serius dengan memanasnya situasi geopolitik negara – negara yang bersengketa atas klaim di Laut China Selatan, agresifitas China di sekitar Laut Natuna dan keadaan geografis Indonesia yang berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga serta kerawanan atas banyaknya pulau terluar Indonesia yang belum berpenghuni.

Agresivitas China di kawasan Laut China Selatan bahkan di sekitar Laut Natuna mendorong sebagian besar negara – negara ASEAN untuk menambah kekuatan militernya di matra laut dan udara. Kekuatan tempur angkatan laut China saat ini, antara lain tiga unit kapal induk Liaoning (kapal Varyag yang dibeli dari Ukraina) dan Type 001A (akan beroperasi penuh pada akhir 2018) dan Type 002 (baru akan memasuki perairan), ketiganya dikembangkan oleh Shanghai Jiangnan Shipyard Group dan Dalian Shipbuilding Industry, 51 kapal fregat, 35 kapal perusak, 35 kapal korvet, dan 68 kapal selam. Ditambah dengan angkatan udara dengan 1.71 pesawat tempur dan 1.385 pesawat pengebom. Sejak tahun 2009, China menambah 14 kapal selam baru dan 21 kapal surface combatant. Laporan pemetaan dari Asia Maritime Transparency Initiative pada Agustus 2016, tiga pangkalan militer milik China di Laut China Selatan telah siap digunakan. Ketiganya berlokasi di Karang Subi, Mischief dan Fiery Cross. Selain itu, dibangun landasan terbang, helipad dan hanggar yang bisa menampung 72 pesawat tempur dan beberapa pembom yang lebih besar dan juga memasang sistem pertahanan udara HQ-9B yang mampu mencegat drone, pesawat dan rudal dari jarak 160 mil. Selain itu, China juga memasang  rudal YJ-12B yang memiliki kemampuan menghancurkan kapal dengan jarak 295 mil.

Data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang dirilis akhir 2015 memperlihatkan pertumbuhan nominal yang signifikan untuk belanja militer negara – negara ASEAN. Dalam kurun waktu 2010 - 2014, rata – rata peningkatan belanja militer ASEAN mencapai 37,6 persen dalam dolar AS dan 44 persen dalam mata uang lokal. Vietnam memimpin dengan kenaikan 59,1 persen, diikuti oleh Kamboja sebesar 56,2 persen, lalu Indonesia sebanyak 50,6 persen. Dalam rentan waktu 2015 – 2016, kenaikan yang terjadi sebesar 5,7 persen. Pada tahun 2016, total belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) negara – negara ASEAN mencapai US$ 47 Miliar. Khususnya di sektor angkatan laut, menurut laporan IHS Jane's Fighting Ships pada 2015 memaparkan kenaikan anggaran untuk sektor angkatan laut di ASEAN berkisar 150 persen dibanding 2008.

Malaysia pada tahun 2014, menerima dua kapal selam tipe Scorpene dari Perancis. Malaysia juga mendapatkan 2 unit kapal Fregat F2000 dari Inggris dan 6 Gowind Class Korvet dari Perancis serta 3,3 persen kontrak pengadaan senjata dengan Amerika Serikat. Singapura pada tahun 2010, membeli 6 kapal selam tipe RSS Archer dari Swedia. Pada 2014, 2 merek baru kapal selam jenis 218S didatangkan dari Jerman. Kapal selam ini termasuk jenis paling modern, dimana kapal selam ini dilengkapi sel bahan bakar untuk propulsi udara-independen (AIP), sehingga kapal selam ini bisa terendam lebih lama ketimbang kapal selam diesel. Tidak berhenti disitu, Singapura mendatangkan 6 kapal Fregat kelas Formidable dengan desain Lafayette dari Perancis.

Vietnam, hingga tahun 2016 lalu, sudah menambah 4 Fregat Gepard tipe 3.9 buatan Rusia. Tahun 2017 lalu, Rusia membantu dalam memodernisasi sistem pertahanan misil angkatan laut di kapal korvet Moiniya dan Tarantul milik angkatan laut Vietnam, dan 6 unit kapal selam kelas Kilo dari Rusia sudah beroperasi seluruhnya. Vietnam juga melakukan pengadaan hamper 72 persen senjata dari Rusia sejak 2010. Filiphina juga termasuk negara yang cukup agresif, dalam lima tahun terakhir, Filiphina mendatangkan belasan kapal fregat dan korvet dari Amerika Serikat, Italia dan Jepang. Thailand pun mendatangkan delapan korvet dan tujuh fregat, guna meningkakan armada kerajaan yang didominasi oleh kapal – kapal tua.

Mayoritas kapal selam terbaru di ASEAN telah dilengkapi sonar anechoic yang didesain modern untuk mengoptimalisasi peledakan torpedo. Kapal selam pun didesain punya kemampuan meluncurkan rudal jelajah anti kapal serta dipakai untuk pengintaian, operasi pasukan khusus atau mine laying. Armada modern ini mampu memproyeksikan senjata yang diperlukan untuk bisa berekspansi ribuan mil sampai perairan terluar dari perairan regional.

Sengketa yang terjadi di Laut China Selatan antara China, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filiphina dan Brunei Darusallam terkait klaim atas Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly lambat laun akan menarik Indonesia ke dalam sengketa tersebut, baik sebagai negara yang memediasi perdamaian antar negara yang bersengketa maupun sebagai negara yang ikut di dalam pertempuran konvensional. Dikarenakan sengketa yang terjadi dapat mengancam kedaulatan wilayah laut Indonesia dan tindakan tersebut diambil sebagai bentuk pertahanan negara. Bukan saja demi menjaga kedaulatan laut, keterlibatan Indonesia dalam penyelesaian sengketa ini juga penting karena wilayah sengketa tersebut juga menjadi perlintasan perdagangan internasional strategis yang menghubungkan berbagai negara di kawasan Asia – Pasifik sebelum memasuki Selat Malaka. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah visi misi bersama negara – negara kawasan Asia Tenggara dalam pelaksanaan ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Free Trade Area (AFTA) serta salah satu dari tujuan nasional Indonesia sebagaimana yang tertulis di alinea ke – 4 Pembukaan UUD 1945, yakni untuk menjaga ketertiban dunia.

Dengan kekuatan militernya, China mampu dengan mudah mengirimkan misil jarak jauh, jet tempura tau pengebom dalam hitungan menit ke negara di sekitar Laut China Selatan, termasuk Indonesia, khususnya di Laut Natuna yang hanya berjarak 600 km. Oleh karena itu, Indonesia harus memiliki pertahanan dan keamanan yang tangguh dan ditakuti di kawasan. Lalu, bagaimana kekuatan alutsista Indonesia dalam tren modernisasi negara – negara kawasan Laut China Selatan ?

Untuk alutsista TNI AL, Indonesia sudah mendatangkan 3 unit Light Fregart Bung Tomo Class dan banyak KCR-40 dan KCR-60. Selain itu, Indonesia juga sudah memesan 2 unit PKR Sigma-10514 dengan opsi sampai 10 unit dari Belanda. Juga ada pemesanan 3 unit Kapal Selam DSME-209 dari Korea Selatan. Pada 2017 lalu, TNI sudah mendatangkan satu kapal selam Chang Bogo-class. Total kekuatan TNI AL yang aktif saat ini adalah 7 frigat, 24 korvet dan 4 kapal selam (data Global Fire Power). Untuk armada pesawat intai maritim, TNI AL sudah memiliki 3 unit CN-235 MPA dan sudah memesan 2 unit tambahan lagi, sehingga nantinya memiliki 5 unit CN-23 MPA. Modernisasi memang dilakukan, namun relative lambat, dimana hampi 70 persen alutsista TNI sudah berumur lebih kurang 25 tahun.

Maka mau tak mau Indonesia harus segera memodernisasi militernya secara besar – besaran. Untuk itu, kekuatan militer Indonesia harus segera diperlengkapi dengan mendatangkan alutsista – alutsista yang memadai untuk menjaga seluruh wilayah kedaulatan Indonesia, khususnya wilayah laut. Selain angkatan laut, alutsista untuk angkatan udara juga di tambah secara signifikan untuk menjamin bahwa kedaulatan maritim Indonesia tetap tegak.

Dikhawatirkan jika Indonesia tidak melakukan modernisasi terhadap alutsista terhadap matra laut dan udara akan memberikan peluang bagi negara lain untuk melakukan manuver dan provokasi yang mengancam kedaulatan wilayah laut NKRI, baik di wilayah perairan maupun melalui jalur politik hubungan internasional. Hal tersebut akan memperlemah usaha Indonesia dalam mewujudkan gagasan untuk menjadi poros maritim dunia dan berkurangnya luas wilayah laut yang berdampak pada berkurangnya pendapatan negara dari Zona Ekonomi Ekslusif dan kerawanan terhadap kapal – kapal Indonesia serta ancaman bagi pulau terluar Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan modernisasi terhadap alutsista dan upaya diplomasi untuk memperkuat status Indonesia sebagai salah satu kekuatan maritim di kawasan Asia Tenggara dan Laut China Selatan demi terwujudnya gagasan “Poros Maritim Dunia” dan kedaulatan wilayah NKRI serta kestabilan ekonomi politik internasional di Asia Tenggara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun