Ini bukanlah tulisan tentang Pantai Indah Kapuk yang merupakan pemukiman mewah dengan rumah-rumah besar. P.I.K yang satu ini singkatan dari Perkampungan Industri Kecil. Mendengar namanya, benak kita bakal melayang ke sebuah tempat yang amat padat, baik dari segi orang maupun bangunan. Apalagi kata “kampung” yang melekat dinamanya disambung kata “industri” yang terdengar ‘berisik’, ditambah pula dengan kata ‘kecil’ semakin mengesankan eksistensinya sebagai tempat yang tak nyaman. Sampai saat melewati jalan Penggilingan yang jadi akses masuk P.I.K. pun, prasangka kita lagi-lagi akan semakin diteguhkan oleh metromini 52 yang bergelimpangan di sana sini di jalan dua arah yang agak sempit (bahkan ada pasar di pinggirnya). Tapi sampai akhirnya mengalami tempat inilah, bayangan saya sendiri digantikan kekaguman.
Berawal dari kumpulan home industry kecil di Palmerah, pemerintah kemudian memindahkan mereka ke daerah Cakung untuk penataan lingkungan yang lebih baik. P.I.K berkembang menjadi sebuah kawasan yang sangat hidup dan bahkan seringkali menjadi kompleks percontohan oleh pemerintah ketika ada kunjungan dari luar negeri. Produk mereka beragam dari sepatu, tas, baju, mesin, hingga logam dan banyak di antara mereka membuka toko di rumah masing-masing.
Tapi yang membuat saya kagum bukanlah bagaimana tempat tersebut menjadi kawasan bisnis yang maju (walaupun saya cukup kagum dengan harga barang disana, sepatu Onisuka Tiger yang harganya bisa 600rb-an saya beli 100rb =)). Kekaguman saya adalah ketika melihat bagaimana warga disana berkomunitas sebagai masyarakat kota.
Tidak seperti warga kota yang jarang berkomunitas dalam kompleks pemukimannya, mereka malah berkomunitas setiap hari. Walaupun berasal dari berbagai daerah di Indonesia, mereka tetap melebur dan berinteraksi satu sama lain. Belasan anak bermain bersama, berkejar-kejaran sambil tertawa ria, di lapangan di dalam komplek, sebuah potret yang hampir tidak pernah saya temui lagi di Jakarta. Begitu juga bapak-bapak di sana tak mau kalah dengan sang anak, bermain bulutangkis setiap malam hingga pagi, sekaligus “nongkrong”. Beda sekali dengan bapak-bapak ala kota yang pulang tengah malam kemudian nonton TV atau tidur. Ibu-ibu pun juga seringkali “ngerumpi” di depan rumah Bu RT.
Jika kegiatan komunal di dalam pemukiman kita semakin sedikit, Kegiatan-kegiatan komunal mereka justru rutin diadakan. Pengajian dilakukan 3 kali seminggu, 1 kali untuk bapak-bapak, 1 kali untuk ibu-ibu dan 1 kali lagi untuk bersama. Tiap minggu pagi yang ibu-ibu pergi senam bersama sedangkan bapak-bapak bersepeda ria. Turnamen bulutangkis diadakan rutin (bahkan mereka punya klub bulutangkis PB-PIK). Arisan dilakukan dari tingkat RT hingga tingkat RW. 17 Agustus pun tak pernah tak dirayakan bersama.
Ketika orang kota seringkali tidak mengenal siapa tetangga di sebelah rumah mereka, kebersamaan mereka justru begitu terasa. Bahkan juga dengan orang luar sehingga baru beberapa kali saya ke sana untuk keperluan tugas kuliah, saya langsung merasa tempat tersebut sangat feels like home (atau lebih tepatnya saya ingin punya rumah dengan lingkungan yang seperti itu ^^). Yang menarik juga adalah di luar kebersamaan mereka, mereka tetap memaknai hidup mereka sebagai anugerah Tuhan. Saya ingat sekali seorang Pak RT disana mengatakan kepada saya, “Saat kita butuh uang lebih untuk berbagai keperluan, Tuhan kasi. Saat kebutuhan kita berkurang, Tuhan juga kurangi rejeki.” Di luar realita benar/tidak prinsip tersebut, saya begitu terkesan bagaimana dia melihat itu dalam arti Tuhan memberikan kita yang secukupnya.
P.I.K. sangat membuka mata saya. Kehidupan interaksi masyarakat dalam satu pemukiman yang jarang sekali dijumpai di kota terasa begitu nyata disana. Mungkin pemerintah dan juga siapapun perlu menjadikan P.I.K. bukan hanya semata-mata percontohan kawasan ekonomi, melain percontohan kawasan komunitas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H