Mohon tunggu...
Robi Edwarsyah
Robi Edwarsyah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bersyukur dan Ikhlas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

HMI dan Memudarnya Tradisi

19 Juli 2014   08:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:54 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

HMI DAN MEMUDARNYA TRADISI

Sejak di dirikannya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947 silam yang diprakarsai oleh Ayahanda Lafran Pane (alm) mahasiswa tingkat I STI bersama 14 orang kawannyamendeklarasikan pendirian organisasi HMI di salah satu ruangan kuliah Sekolah Tinggi Islam (sekarang berganti UII) Yogyakarta di jalan setyodiningratan 30 (sekarang jalan senopati) Yogyakarta, hingga kini HMI masih tetap utuh berdiri memberikan kontribusi positif bagi rakyat Indonesia.

Dalam proses mempertahankan keutuhan organisasi HMI sudah banyak dinamika yang dilewati. Pergolakan pemikiran, pertarungan ideologi, politik bahkan sampai gesekan fisik pernah di lalui HMI tanpa mencederai keutuhan organisasi dan NKRI. Pada etape tersebut para kader HMI riil menunjukkan soliditas dan kesadaran kolektif akan tujuan dari sebuah organisasi dan mempertahankan NKRI. Hal tersebut sesuai dengan latar belakang berdirinya dan komitemen HMI yang disebut oleh (alm) Lafran Pane dengan istilah Tri komitmen HMI yakni; Keindonesiaan, Keislaman dan Kemahasiswaan.

Sudah tentu HMI sebagai organisasi mahasiswa konsen pada lokus kemahasiswaan dalam membentuk insan-insan yang akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah Subhana wata a’la sesuai dengan tujuan HMI. Bentuk konsistensi dalam pembentukan kader-kader HMI berdasarkan lima kualitas insan cita tersebut di implementasikan dalam tiap-tiap tradisi intelektual yang ada. Tradisi intelektual yang ada di HMI digambarkan sebagai proses penempaan dalam kawah candra dimuka. Butuh keseriusan dan kesabaran dalam menjalani tradisi yang ada. Salah satu tradisi intelektual yang rutin dilakukan yakni membaca, berdiskusi dan menulis.

Tradisi intelektual membaca, berdisikusi dan menulis sebagai rutinitas harus dimaknai sebagai kebutuhan pokok (primier) sebagai mahasiswa dan kader HMI. Agar menjadi asupan energi dan bekal dalam menghadapi kehidupan nyata kelak. Kondisi HMI hari ini cenderung mengalami degradasi. Hal ini dapat kita lihat dari sedikitnya minat menjalankan tradisi-tradisi intelektual HMI (membaca, berdiskusi dan menulis). Sekurang-kurangnya dalam pengamatan penulis hanya ada beberapa kader-kader HMI yang masih rutin dan konsisten menjalankan tradisi tersebut.

Kejumudan intelektual lah yang saat ini melanda kader HMI di tengah lalu lintas ideologi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih berkembang. Di butuhkan pendekatan alternatif dalam memunculkan minat melaksanakan tradisi intelektual di HMI.



Pilpres Sebagai Cermin Mengkampanyekan Tradisi Intelektual

Euforia pemilihan presiden (pilpres) mulai dari kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden telah usai sampai proses pencoblosan pun telah usai. Namun masih ada sisa-sisa dalam bentuk yang berbeda yakni pengawalan penghitungan suara. Para relawan/saksi dari masing-masing capres dan cawapres dengan suka hati mengawal proses penghitungan di tingkat TPS, rekapitulasi tingkat kelurahan/desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi selanjutnya tingkat pusat.  Sampai sedemikian panjangnya proses yang dilakukan relawan di mulai dari masa kampanye hingga pengawalan rekapitulasi suara hasil pencoblosan.

Pada konteks kampanye tradisi intelektual dalam HMI bentuk konvensional menurut penulis adalah sama hal nya seperti kampanye pilpres yakni mensosialisasikan capres dan cawapres. Seseorang kader HMI mungkin jenuh dengan pola yang monoton. Selanjutnya dibutuhkan bentuk kampanye yang berkelanjutan sampai pada hasil nya. Dalam hal ini yang penulis maksud adalah memberikan ruang-ruang kader dalam aktualisasi dari proses tradisi intelektual yang sudah kader dapatkan. Ada bentuk lanjutan dari proses yang sudah kader laksanakan, misal: dalam bentuk penyampaian materi dilingkup komisariat secara bergantian. Dengan begitu hasil dari proses tradisi intelektual yang kader lakukan selama ini akan secara langsung mereka rasakan apakah maksimal atau sebaliknya.

Tentu saja sinergisitas trilogi perkaderan HMI (dikader, berkader, mengkader) sangat di butuhkan dalam menjalankan tradisi intelektual sehingga terjadi komunikasi yang baik antara junior dan senior di tingkat komisariat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun