Menjalankan puasa bagi anak-anak di negara muslim minoritas seperti Jepang bukan perkara mudah. Karena sekolah si sulung adalah SD umum, teman-teman sekelilingnya adalah anak Jepang yang tidak berpuasa.Â
Di kelasnya, hanya dia sendiri yang muslim. Bagi anak usia 7 tahun, bukan perkara mudah untuk menahan diri ketika di sekelilingnya mereka makan dan minum seperti biasa.Â
Dua pekan sebelum Ramadhan, sensei (guru) sekolah SD nya si sulung menanyakan apakah anak-anak muslim di SD akan ikut berpuasa. Sensei menanyakan hal ini untuk mengatur ruangan bagi si bocah, terutama saat makan siang.
Murid dan guru sekolah di Jepang makan siang bersama-sama. Artinya si kakak harus diisolasi selama rekan-rekan yang lain makan siang. Setiap sekolah mempunyai ruang dapur. Biasanya anak-anak akan bergiliran mendapatkan piket untuk melayani penyiapan makanan bagi teman-temanya.
Selain itu, di Jepang, Ramadhan tahun ini jatuh pada musim panas. Selain cuaca saat siang cukup panas,di musim ini, waktu siang lebih panjang dan sebaliknya malamnya lebih pendek. Pekan ini misalnya, waktu subuh sekitar pukul 2.16, sedangkan maghribnya pukul 7 lewat. Artinya lama berpuasa sekitar 17 jam.Â
Tantangan lainya adalah terkait sahur. Hari pertama, kami mencoba pendekatan seperti di Jakarta. Tidur selepas sholat taraweh sekitar jam 11. Akan tetapi, dua buah alarm HP dengan setelan kenceng tak mampu membangunkan kami untuk bangun sahur. Kini, kami mencoba pendekatan lain. Berjaga sampai sahur, tidur selepas subuh.Â
Rupanya, tantangan ini tak menyurutkan tekad si bocah untuk latihan berpuasa. Pada si bocah, kami sampaikan selepas pulang sekolah boleh makan kalo tidak kuat. Tetapi usulan ini ditolak mentah-mentah sama dia. Pulang sekolah doi langsung ngacir ke jido-kan (fasilitas bermain-belajar setelah jam sekolah) dalam keadaan puasa.
Dan saat saya sampai rumah, sambil berlari menyambut kedatangan ibunya dia berteriak:Â
"Kakak punya dua hadiah, hadiah pertama tadi kakak shalat dzuhur di sekolah, hadiah kedua, kakak masih puasa ngga makan siang di sekolah"Â
Orang tua mana yang nggak meleleh mendengar anaknya, yg bersekolah di negeri asing muslim minoritas, bicara demikian?