“Dari 100 orang yang membagikan tulisan saya via Facebook, hanya separuh yang membaca,” keluh seorang rekan, penulis artikel, sembari menunjukkan statistik di websitenya.
“Artinya, mereka hanya mengambil kesimpulan informasi dari judulnya lantas membagikannya,” imbuhnya.
Melimpahnya informasi di sosial media nampaknya membuat kita cenderung malas membaca. Bahkan, kadangkala dengan mudah kita share info-info sampah, sebagian berujung caci dan fitnah.
Nicholas Carr pernah membahas penurunan minat membaca semenjak era google. Di era media sosial ini, daya tahan membaca kita nampaknya semakin berkurang. Jika dahulu masih dapat membaca dengan konsentrasi 3-4 lembar, semenjak era social media, tulisan 3-4 paragraf paling kita skip.
Selain itu, kita juga lebih banyak membaca dengan teknik skimming. Sama halnya dengan membaca portal berita online yang dilakukan dalam sekedip mata.
Ada hal lain yang perlu dikuatirkan. Menurut survey yang dilakukan oleh global web index, rata rata penggunaan social media di Indonesia cukup tinggi. Dalam seharinya, orang mengakses media sosial selama 2 jam 51 menit! Dari sisi jumlah, ada 79 juta user Facebook. Lebih dari 90% adalah usia produktif, antara 13 tahun-40 tahun.
Hal ini kontradiktif dengan minat baca di Indonesia yang relatif rendah. Data statistik UNESCO pada 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya satu warga yang tertarik untuk membaca.
Di sisi lain, media sosial seperti FB, dan Twitter adalah medium informasi yang sangat efektif. Akses informasi mudah didapat dengan sangat cepat. Sosial media tidak hanya menyuplai informasi, mereka membentuk proses berfikir kita.
Apa beda membaca buku dan status media sosial?
“Kita tidak hanya apa yang kita baca, tetapi bagaimana kita membaca,” kata Maryanne Wolf, psikolog dari Tufts University. Teknologi digital, termasuk di antaranya social media menawarkan efisiensi, kenyamanan, dan kecepatan informasi.
Hal ini membuat kita merasa nyaman, tetapi menurunkan kemampuan membaca kita secara mendalam. Akibatnya berpikir dan berkontemplasi menjadi berkurang. Sosial media membuat kita cenderung, berenang di permukaan, bukan menyelam di kedalaman.