[caption caption="Ilustrasi: jnize.com"][/caption]Suhu di kota Sendai tercatat -5 derajat celcius, salju yang turun di malam harinya menyisakan ketebalan beberapa cm. Seperti malam-malam sebelumnya beliau datang tepat pukul 8.45. Beliau yang saya maksudkan adalah seorang muslim asli Jepang yang rutin menjemput jamaah ke Masjid setiap Isya dan Shubuh. Jarak antara asrama mahasiswa dengan Masjid di kota kami sekitar 5 km. Usianya yang menginjak 76 tahun tidak menghalangi kegiatan ini sejak berdirinya masjid, 2007 silam.
Kakek ini adalah representasi orang Jepang yang disiplin dan tepat waktu. Sejak kapan orang Jepang sangat tepat waktu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Prof. Takehiko Hashimoto terkait sejarah orang Jepang dan ketepatan mereka terhadap waktu.
Dalam kajiannya, Hahimoto menceritakan kedatangan seorang Eropa, Willem van Kattendyke, pada tahun 1857 ke Nagasaki. Kattendyke mengajarkan prinsip navigasi dan teknologi kapal kepada para pemuda Jepang. Dalam memoirnya, dia mengeluhkan para pemuda ini sebagai orang yang tidak tepat waktu. Dia mencontohkan, beberapa perlengkapan untuk perbaikan kapal datang sangat tidak tepat waktu, para pekerja terlambat dan sering tidak masuk bekerja.
Keluhan Kattendyke ini juga dirasakan oleh insinyur asing yang datang ke Jepang pada akhir abad 19. Mereka juga merasakan kejengkelan yang sama terhadap kebiasaan bangsa Jepang di masa itu. Kebiasaan mereka yang tidak menghargai waktu. Ketika sistem perkeretaan diperkenalkan, keterlambatan selama 30 menit adalah hal yang lumrah.
Pada masa Meiji, pekerja Jepang banyak yang libur dan mencutikan diri pada perayaan-perayaan yang erat kaitannya dengan budaya dan agama. Absen dari pekerjaan juga cukup tinggi (20%), sangat berbeda dengan kondisi orang Jepang saat ini yang sakit pun tetap berangkat bekerja (absen 0%). Mereka juga dengan mudah berhenti bekerja, dan tidak menunjukkan etos kerja di Jepang yang terkenal saat ini, yaitu bekerja seumur hidup atau hingga pensiun di sebuah perusahaan/instansi.
Apa yang merubah orang dan system di Jepang menjadi tepat waktu?
Di era restorasi Meiji, banyak samurai yang menggantungkan pedangnya dan menjadi guru. Dari sini, sistem sekolah di Jepang banyak terpengaruh falsafah “bushido”, kode etiknya generasi samurai. Di era ini, kementerian pendidikan menyusun peraturan agar anak-anak datang ke sekolah 10 menit sebelum pelajaran di mulai. Jika terlambat, mereka harus menjelasakan alasan kepada gurunya.
Hashimoto juga mengaitkan kelahiran sikap disiplin dengan masuknya sistem mechanical clock di Jepang. Sistem ini menggantikan penanda waktu yang sebelumnya hanya dibagi menjadi 6 satuan.
Tetsuro Kato, dalam penelitiannya berargumen bahwa kedisiplinan mulai lahir pasca perang dunia, yaitu ketika Jepang kalah dalam peperangan, dan merasa tidak ada jalan lain untuk bangkit kecuali berdisiplin dalam bekerja dan mengutamajan kerja keras. Maka wajarlah, dengan asumsi ini, banyak orang tua di Jepang bekerja siang malam, bahkan tidak pulang ke rumah, ketika mereka masih kuat bekerja. Generasi yang merasakan akibat langsung peperangan adalah generasi yang tertempa dan tidak mau lagi masuk dalam penderitaan yang sama. Untuk itu mereka memegang teguh prinsip bekerja keras dan penuh kedisiplinan.
Hal lain yang mempengaruhi konsepsi orang Jepang terhadap waktu adalah falsafah “kaizen”. “kai” dalam bahasa Jepang berarti berubah, sedangkan “zen” berarti baik. Kaizen merupakan aktifitas sehari-hari yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas. Dalam Bahasa Inggris, kaizen lantas diterjemahkan menjadi: continues improvement, perbaikan yang berkesinambungan.
Ada poin menarik yang dapat diambil pelajaran dari sejarah konsepsi ketepatan waktu orang Jepang. Kita dapat berubah menjadi bangsa yang tepat waktu. Pada kasus Jepang, mereka memerlukan kurun waktu 50 tahunan untuk berubah menjadi bangsa yang kita kenal sekarang. Rentang waktu yang memerlukan kesungguhan berubah yang kuat, perbaikan berkesinambungan.