Di Jepang, musim panas adalah masa panen buah persik. Beberapa waktu yang lalu kami mengunjungi perkebunan buah persik di daerah Kawasaki, Jepang. Harga sekiloan buah persik di minimarket di kisaran 300 yen. Di lokasi ini, dengan harga yang sama, pengunjung diperbolehkan memetik dan memakan buah persik sepuasnya.
Pengelolaan perkebunan ini bukan perusahaan, melainkan petani. Para petani ini mengelola perkebunan mereka dengan konsep agro-wisata. Selain buah persik, ada juga buah lain seperti apel, dan cherry. Perkebunan ini terletak di samping rumah milik sang petani. Hal yang menarik adalah selain rumahnya jauh lebih besar dibanding rumah di perkotaan, di garasinya terparkir beberapa buah mobil.
Situasi ini berbanding terbalik dengan negara kita. Indonesia adalah negara agraris. Akan tetapi, data BPS justru menyebutkan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia adalah golongan petani.
Lihatlah sejenak daerah yang pekerjaan warganya adalah bertani. Indikator kemiskinan dapat dilihat secara kasat mata. Rumah mereka beralas tanah, berdinding gebyog (anyaman bambu) atau papan kayu. Sebagian tanpa mebel apalagi kulkas dan AC seperti pada kebanyakan rumah Anda. Ironis bukan?
Di sisi lain, Jepang yang negara industri maju, para petaninya justru makmur. Untuk mengetahui latar belakang kemakmuran petani di negeri ini, nampaknya kita perlu merunut sejarah kehidupan petani di Jepang. Menurut beberapa catatan, pada jaman Edo, Jepang menganut sistem kasta dengan urutan samurai, petani, tukang, dan pedagang. Menurut sistem ini petani menempati kasta yang cukup tinggi, urutan dua setelah samurai. Hal ini dikarenakan petani adalah produsen nasi. Semua kasta bergantung pada produksi makanan pokok oleh petani.
Status sosial ini juga berdampak pada ekonomi mereka. Saat ke luar kota, saya sering mengamati sepanjang perjalanan, selain memiliki beberapa mobil, rata-rata rumah para petani ini besar.
Beberapa waktu yang lalu saya juga sempat berdiskusi dengan seorang peneliti pertanian dari Jepang. Menurutnya, kepemilikan lahan di Jepang berbeda dengan di Indonesia. Di Jepang, seorang petani dapat memiliki puluhan hektar sawah. Selain itu, penggunaan teknologi jauh lebih intensif.
Selain penggunaan teknologi dalam bertani, Petani di Jepang terhimpun dalam suatu organisasi, organisasi yang bernama Nougyou Kyoudou Kumiai (Japan Agriculture) ini juga berperan sebagai corong pemasaran produk pertanian di Jepang. Keberadaan organisasi ini meningkatkan bargaining position para petani sekaligus menaikkan kesejahteraan mereka.
Dengan bernaung dalam suatu organisasi yang efektif, manajemen produksi akan dapat diatur dengan baik. Dengan kontrol yang baik terhadap permintaan dan penawaran, harga akan terjaga pada level yang tetap menguntungkan petani.
Situasi ini tampak berbanding terbalik dengan Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, membludaknya produksi tomat dari daerah di Jawa Barat menyebabkan harganya anjlok.