Mohon tunggu...
Robi Muhammad Affandi
Robi Muhammad Affandi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta dan Penulis Media Online

Hidup adalah tentang bagaimana engkau bercerita, dan bagaimana engkau diceritakan. Karena dengan cerita itulah manusia akan dikenal dalam sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ruang Kecil

11 Agustus 2024   16:50 Diperbarui: 11 Agustus 2024   20:05 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

RUANG KECIL

 Hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk melangkah, tak cukup jauh untuk diraih namun dinding tipis itu hanya sekedar terlihat rapuh. Jangankan pandangan, biasan cahayapun tak mampu menembus kisi-kisi dinding itu. Di sudut ruang itu ia membatu, tanpa gerak dengan wajah tertopang keheningan. Ada rasa yang ingin diteriakan, ada sikap yang ingin ia buktikan, namun dunianya hanya sebatas meja kecil diruang itu. 

Tubuhnya mulai beku, di hembus dinginnya angin malam musim hujan kala itu. Tak ada selimut hangat untuknya, tiada lentera ataupun purnama yang meneranginya. Hanya ada harapan dihatinya, berharap mentari esok hari membawa cerita baru tentang ruang itu, ruang kecil yang bersekat. 

Baca juga: Senja di Ujung Tali

Lamunannya mulai tumbuh, teringat saat-saat dirinya berada di sisi lain ruangan itu. Sisi lain ruangan yang ingin ia tempati sepanjang hidupnya. Sisi ruangan yang dulunya hanya ada ia dan vas bunga indah. Tapi kini, ruangan itu telah bersekat. Karena di sore itu, seseorang telah datang membawa palu dan kayu, serta beberapa paku kecil. Orang itu membuat sekat kayu diantara dirinya dan vas bunga. Dikegelapan malam, mereka dipisahkan. 

Malam itu adalah saat pertama mereka terpisah, setelah satu purnama mereka lewati bersama. Dan mungkin juga, malam itu akan menjadi cerita awal tentang perpisahan mereka untuk selamanya. Namun apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya setangkai bunga yang hampir mengering dan tak dapat bergerak. 

Dibalik dinding kayu, terdengar nyanyian merdu. Nyanyian yang dulu selalu ia dengar menjelang kelopaknya tertidur. Kini, nyanyian itu terdengar kembali, tetapi bukan lagi lagu pengantar tidur untuknya. Di sela-sela suara merdu itu, ada kelopak lain yang ikut riuh. "sepertinya vas indahku telah ditempati bunga baru."keluhnya. 

Tak mudah baginya melewati malam dingin di musim semi kala itu. Kehangatan yang selalu memeluknya di malam-malam sebelumnya, telah terampas. Walau ia berada diruang yang pengap, tetapi kebekuan mencengkram kuat. Seperti berselimut ditengah-tengah hujan, seperti itulah kenyataan membawanya. Hingga akhirnya tubuhnya lelah, tak bergerak. 

Paginya, pintu ruang itu terbuka. Cahaya pagi, mulai menyusup bergantian di sela-sela bukaan pintu. Tirai jendela yang disingkapkan seseorang, menambah terangnya ruang kecil itu. Terlihatlah ribuan tangkai bunga helianthus yang telah kering. Hanya ada satu bunga yang masih lembab, terkulai di atas meja kecil disamping sekat ruangan itu. 

"Ialah bunga yang meratapi nasibnya semalam!." Seluruh bunga diruangan itu menatap bunga layu di meja kecil itu. "padahal ia cukup beruntung bisa merasakan kehangatan vas bunga sebelum dirinya benar-benar dikeringkan bersama kita!" ujar bunga lainnya. (.....) By, R.M.AFFANDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun