RUANG KECIL
 Hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk melangkah, tak cukup jauh untuk diraih namun dinding tipis itu hanya sekedar terlihat rapuh. Jangankan pandangan, biasan cahayapun tak mampu menembus kisi-kisi dinding itu. Di sudut ruang itu ia membatu, tanpa gerak dengan wajah tertopang keheningan. Ada rasa yang ingin diteriakan, ada sikap yang ingin ia buktikan, namun dunianya hanya sebatas meja kecil diruang itu.Â
Tubuhnya mulai beku, di hembus dinginnya angin malam musim hujan kala itu. Tak ada selimut hangat untuknya, tiada lentera ataupun purnama yang meneranginya. Hanya ada harapan dihatinya, berharap mentari esok hari membawa cerita baru tentang ruang itu, ruang kecil yang bersekat.Â
Lamunannya mulai tumbuh, teringat saat-saat dirinya berada di sisi lain ruangan itu. Sisi lain ruangan yang ingin ia tempati sepanjang hidupnya. Sisi ruangan yang dulunya hanya ada ia dan vas bunga indah. Tapi kini, ruangan itu telah bersekat. Karena di sore itu, seseorang telah datang membawa palu dan kayu, serta beberapa paku kecil. Orang itu membuat sekat kayu diantara dirinya dan vas bunga. Dikegelapan malam, mereka dipisahkan.Â
Malam itu adalah saat pertama mereka terpisah, setelah satu purnama mereka lewati bersama. Dan mungkin juga, malam itu akan menjadi cerita awal tentang perpisahan mereka untuk selamanya. Namun apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya setangkai bunga yang hampir mengering dan tak dapat bergerak.Â
Dibalik dinding kayu, terdengar nyanyian merdu. Nyanyian yang dulu selalu ia dengar menjelang kelopaknya tertidur. Kini, nyanyian itu terdengar kembali, tetapi bukan lagi lagu pengantar tidur untuknya. Di sela-sela suara merdu itu, ada kelopak lain yang ikut riuh. "sepertinya vas indahku telah ditempati bunga baru."keluhnya.Â
Tak mudah baginya melewati malam dingin di musim semi kala itu. Kehangatan yang selalu memeluknya di malam-malam sebelumnya, telah terampas. Walau ia berada diruang yang pengap, tetapi kebekuan mencengkram kuat. Seperti berselimut ditengah-tengah hujan, seperti itulah kenyataan membawanya. Hingga akhirnya tubuhnya lelah, tak bergerak.Â
Paginya, pintu ruang itu terbuka. Cahaya pagi, mulai menyusup bergantian di sela-sela bukaan pintu. Tirai jendela yang disingkapkan seseorang, menambah terangnya ruang kecil itu. Terlihatlah ribuan tangkai bunga helianthus yang telah kering. Hanya ada satu bunga yang masih lembab, terkulai di atas meja kecil disamping sekat ruangan itu.Â
"Ialah bunga yang meratapi nasibnya semalam!." Seluruh bunga diruangan itu menatap bunga layu di meja kecil itu. "padahal ia cukup beruntung bisa merasakan kehangatan vas bunga sebelum dirinya benar-benar dikeringkan bersama kita!" ujar bunga lainnya. (.....) By, R.M.AFFANDI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H