Balada Kisah di Balik Hamdalah: Dari Sang Orator Hingga Sang Adam
Agar sesekali refreshing, mari kita simak balada alias kumpulan kisah menarik yang berkaitan dengan hamdalah ini:
Al-kisah, pada tahun 45 Hijriah pada era kekhalifahan Sayyidina Mu’awiyah (15 SH-60 H), Sahabat Ziyad bin Abihi alias ibni Abi Sufyan (1-53 H) mulai memimpin wilayah Basrah, Khurasan, dan Sajistan. Tepat bulan Rabi’iul Awwal 45 H, ia tiba di Basrah, yang saat itu dipenuhi banyak sekali kefasikan. Karena Sahabat Ziyad merupakan seorang sastrawan sekaligus orator ulung, ia langsung mengumpulkan masyarakat Basrah dan berorasi dengan tegas dan penuh kharisma. Namun, sayangnya, karena mungkin saking semangat, orasi tersebut tak ia mulai dengan alhamdulillah. Langsung saja to the point.
Akhir kata, khutbah yang meluap-luap tersebut dikenal sejarah Basrah dengan al-khutbah al-batraa` (orasi yang terputus), terinspirasi dari bahasa hadits diatas[1]. Cerita rakyat ini mewartakan kepada kita: meski banyak yang fasik, masyarakat Basrah saat itu masih mengingat pesan Nabi Muhammad dengan baik, tapi di sisi lain juga menggambarkan watak rakyat biasanya memang lebih melihat “kekurangan” pemimpinnya, ketimbang tindakan-tindakan positif yang hendak dibangun.
Memuji kepada Allah juga sudah merupakan salah satu karakter Rasulullah Saw. Dikisahkan dari istri Baginda tercinta Siti ‘Aisyah (9 SH-58 H) bahwa disaat melihat apa yang disukai, Rasulullah senantiasa mengucapkan: “Alhamdulillahil ladzi bini’matihi tatimmus shaalihaat (Segala puji bagi Allah yang dengan karunia-Nya sempurnalah segala keshalihan).” Bahkan saat melihat sesuatu yang Nabi tak suka pun, Sang Nabi tak luput memuji Allah; “Alhamdulillah ‘ala kulli haal, Rabbi inni a’udzubika min haali ahlin nar (Segala puji bagi Allah atas seluruh kondisi, Duhai Rabb sungguh aku berlindung kepada-Mu dari kondisi penghuni neraka).”[2]
Inilah kepribadian Rasul kita, baik suka maupun duka, tak pernah mengabaikan pujian kepada Sang Rabb, Allah Swt.
Bagaimana dengan polah kita? Percayalah, segetir apapun nuansa hidup kita, yuuk tetap memuji Tuhan. Dengan berkah pujian ini, titik getir itu niscaya akan berubah menjadi rangkaian bahagia bagi episode hidup kita berikutnya.
Rupa-rupanya ayahanda kita Nabi Adam juga memiliki kisah unik berkenaan dengan hamdalah. Dalam sebuah riwayat yang dishahihkan oleh Imam Al-Hakim (w. 405 H), Sahabat Ibn Abbas (w. 68 H) mengisahkan kisah ini dari Rasulullah Saw. Bahwa tatkala Allah telah usai menciptakan Baginda Adam, dan meniupkan ruh ke dalamnya, ternyata Nabi Adam langsung bersin dan seketika melafalkan, “Alhamdulillah”. Dan Allah pun membalasnya dengan “Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu).”[3]
Secara tersirat, hadits ini melukiskan fitrah manusia itu memang hobinya memuji Tuhan, juga sangat bahagia bila sampai dipuji dan disayang, apalagi oleh Tuhan langsung. Dan dari kisah inilah asal usul kenapa Nabi Muhammad memerintahkan kita mengucapkan hamdalah disaat bersin dan membalasnya dengan tarahhum.
Riwayat lain mengisahkan, ketika telah diturunkan ke bumi, Nabi Adam memanjatkan doa, “Duhai Allah, ajarkanlah aku bagaimana aku harus bekerja dan ajarilah aku sebuah kalimat yang mampu mengumpulkan seluruh sumber pujian di dalamnya.” Akhirnya turunlah wahyu agar Ayahanda kita Adam membaca kalimat berikut tiga kali di pagi hari dan tiga kali di waktu petang; “Alhamdulillah hamdan yuwafi ni’amahu wa yukaafi`u mazidah (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang memenuhi segala nikmat-Nya dan mencukupkan tambahan-Nya).”