Berkat rahmat Allah, kita bisa meneruskan pengajian online kitab Safinah. Melalui pengantar pertama, kita telah mengetahui sekilas kandungan kitab ini dan pengabdian ulama terhadapnya. Sedangkan pengantar kedua mengantarkan kita pada relung-relung histori sang penulis, Al-Maghfur lah Syekh Salim bin Sumair rahimahullah wa-nafa'ana bi-'ulumih, yang ternyata makam beliau di Tanah Abang-Jakarta. Sekarang kita masih dalam nuansa pengantar, belum masuk pembahasan inti kitab. Sabar, ya? Pengantar ketiga kali ini mengupas singkat mengaji fiqh dengan tiga kunci pertanyaan: apa, bagaimana, dan mengapa.
Jejak Tafaqquh fid Din
Paska kemenangan ghazw[1] terakhir Tabuk (Rajab, 9 H) menghadapi pimpinan Romawi Timur Sang Heraklius, Nabi Muhammad Saw hendak mengutus pasukan perang ke suatu daerah (sariyyah). Dengan penuh semangat berapi-api, para Sahabat pun menyambutnya dan sudi berperang semua. Tiada lagi yang tertinggal di Madinah layaknya para Munafiq, badui Arab, dan tiga Sahabat yang terekam dalam butir-butir ayat surat At-Taubah. Melihat dahsyatnya antusias, akhirnya Allah menurunkan ayat tafaqquh fid din berikut[2];
﴿وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ﴾
“Dan tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pemahaman (pengetahuan) mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
(QS. At-Taubah: 122)
Ayat ini hendak menegaskan para Sahabat, dan juga kita bahwa mengaji agama (tafaqquh fiddin) itu tidak kalah penting dengan jihad fi sabilillah. Tanpa pondasi “pengajian” agama, sebuah peradaban takkan bisa lama berkuasa, sehebat apapun kekuatan militernya. Jihad militer dan ijtihad pengetahuan harus ditegakkan bersamaan secara berimbang[3]. Karenanya -menurut mufassir kenamaan Tunis, Ibn ‘Ashur (w. 1393 H)-, kekaisaran terbesar kedua dalam sejarah dunia, kekaisaran Mongolia (1206-1368 M) masih sangat rapuh sebelum mereka berbaur dengan para ilmuwan wilayah-wilayah yang ditaklukkan dan memasrahkan urusan pemerintahan kepada mereka.[4]
Intinya disini tentu bukan sejarah Mongol, tetapi pemaknaan fiqh di era kenabian. Makna fiqh masih padat dan sangat meluas. Tidak hanya halal-haram, tapi seluruh seluk beluk keagamaan masuk dalam kata fiqh. Bahkan, Al-Quran menggunakan kata fiqh untuk hal yang sukar diketahui; “Akan tetapi kalian tak mampu memahami (la tafqahuna) tasbih mereka” (QS. Al-Isra: 44). Jadi, makna fiqh itu lebih spesifik daripada ilmu.
Dalam dunia bahasa, orang bisa dikatakan faqih ketika ia memiliki bakat-tabiat (sajiyyah) memahami hal-hal rumit dengan sangat teliti. Bukan sekedar pemahaman yang biasa-biasa saja. Oleh karena pemaknaan lingual ini, ilmu fiqh sulit diraih kecuali dengan tafaqquh, bersusah payah mengerahkan segala daya upaya untuk meraih pemahaman yang jeli. Maknanya, memahami agama dengan benar-tepat tidak bisa diraih dengan begitu mudah, harus teliti dengan pola pikir nan jernih. Untuk men-support ini, Rasulullah Saw pernah memotivasi para sahabatnya;
“Sesiapa yang Allah hendaki baik untuknya, niscaya Ia akan memahamkannya (yufaqqihhu) tentang agama.”
(HR. Bukhari-Muslim)[5]