Diplomasi Perut atau food diplomacy adalah menggunakan media makanan sebagai instrumen untuk membangun pemahaman lintas budaya dengan harapan mengembangkan interaksi dan kerja sama atau dengan bahasa yang sederhana menggunakan makanan untuk bersama-sama, berbincang bersama dan mengetahui satu dengan lainnya secara lebih mendalam. Food the oldest diplomatic tool, makanan adalah sarana diplomasi tertua.
Diplomasi yang melaui kata-kata kadang kurang mempan. Diplomasi perut(makanan) lebih gampang dan tidak memerlukan perdebatan. Lidah tidak akan berbohong tentang sesuatu yang dirasakan karena perut kenyang hati bahagia. Diplomasi jenis ini dilakukan oleh semua bangsa. Ketika kita mendengar kata “spaghetti”, “pizza” kita pasti akan paham bahwa ini berasal dari Italia, begitu mudahnya makanan ini diterima oleh manusia seantero dunia. Begitupun dengan hamburger yang berasal dari Amerika yang di perkenalkan oleh imigran dari Hamburg Jerman.
Dari lokal Indonesia juga tak kalah terkenalnya, masyarakat dunia sudah banyak mengenal dan merasakan betapa enaknya tempe, rendang, sate, nasi goreng, dll. Sampai-sampai para musisi dari negara lain membuat lagu khusus dengan judul makanan Indonesia. Manusia lebih mudah beradaptasi dengan makanan dari pada hal lainnya. Kita pasti akan paham kalau pempek berasal dari mana, atau kita pasti bisa menebak kalau martabak manis yang enak datang dari Bangka, atau Bandung, bahkan para penjual martabak rela menuliskan Martabak Bangka atau Martabak Bandung di setiap gerobaknya, itu semua dilakukan agar dapat diterima para pembelinya, meski bukan berasal dari Bangka ataupun Bandung.
Untuk memahami suatu negara atau daerah kadang lebih mudah dilakukan dengan makanan khasnya. Kita pasti familiar dengan rendang, sate, gado-gado, nasi uduk, lotek, opor ayam, gudeg, rawon, bakso, ketoprak, nasi goreng, soto, otak-otak, kerak telor, pepeda, dan lainnnya.
Food Diplomasi juga pernah dilakukan oleh para politisi, seperti yang pernah dilakukan oleh Hatta Rajasa untuk menyelesaikan perselisihan dua kubu di DPR yang dikenal Diplomasi ikan Patin ala Hatta Rajasa. Menlu Retno LP Marsudi juga pernah melakukan hal yang sama saat masih menjabat sebagai duta besar Belanda dengan membuat 1600 warung Indonesia di Belanda. Atau Diplomasi perut yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung yang di arsiteki Ridwan Kamil menjamu 6 kedutaan besar dari Amerika Selatan dan Karibia dalam Summer Food Festival di Balai Kota Bandung. Karena jenis diplomasi ini adalah bentuk diplomasi publik yang cukup ampuh.
Diplomasi secara umum adalah mengelola suatu urusan untuk kepentingan tertentu melalui wakilnya. Inti diplomasi adalah kesediaan untuk saling memberi dan menerima guna mencapai saling pengertian antara dua negara, tiga negara, atau banyak negara. Biasanya dilakukan secara resmi antar pemerintah negara namun, bisa juga secara tidak resmi melalui antarlembaga informal atau antarpenduduk atau antarkomunitas dari negara yang berbeda. Idealnya, diplomasi haruslah memberikan hasil berupa pengertian lebih baik atau persetujuan tentang suatu masalah yang dirundingkan.
Food diplomacy memang bukan basa-basi. Kadang duduk bersama saja tak cukup untuk menyelesaikan persoalan. Perlu hidangan lezat untuk menghangatkan hati dan mencairkan kebekuan suasana. Bahkan di rumah pun dilakukan diplomasi ini oleh orang tua kita. Diplomasi Perut menentukan perjalanan. Inspirasi dari zikir jum’at Syeikh AS. Panji Gumilang. Mengutip ayat Al Quraisy "Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan". Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H