Mohon tunggu...
Robertus Rimawan
Robertus Rimawan Mohon Tunggu... lainnya -

Jurnalis koran di Manado, penyuka buku dan film. Kunjungi blog saya robertussenja.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ini Caranya, Bikin Koruptor Meninggal dalam Tawa

12 Desember 2013   16:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:00 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Kematian menjadi hukuman yang diusulkan oleh para tokoh bagi seorang koruptor. Bagaimana cara efektif? Tak ada salahnya mencoba hukuman mati koruptor, tewas dalam tawa - FOTO SHUTTERSTOCK"][/caption] ROBERTUSSENJA.COM - Hukuman apa yang tepat untuk seorang koruptor? Ada yang mengusulkan sebaiknya dihukum mati seperti di China agar perilaku korupsi terhenti. Seperti dilansir dari Kompas.com, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad bahkan menyatakan setuju jika pejabat yang melakukan korupsi diberi hukuman mati. Menurut Abraham, hukuman itu setimpal untuk mengganjar keserakahan pejabat yang korup. Ia mengambil contoh pada kasus korupsi yang melibatkan mantan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Abraham yakin, kedua pejabat tersebut melakukan korupsi bukan karena terdesak kebutuhan, melainkan dilatarbelakangi oleh sifat kemaruk yang tak mampu dikuasai. Abraham menuturkan, Rudi Rubiandini memiliki penghasilan sekitar Rp 300 juta di setiap bulannya. Gaji pokok Rudi sebagai Kepala SKK Migas mencapai Rp 230 juta, ditambah Rp 80 juta sebulan dari jabatannya di sebuah bank. "Perlakuannya harus dibedakan, kalau ada yang pungli karena gajinya Rp 3 juta, maka negara harus hadir, perbaiki upahnya. Tapi, kalau pejabat, gajinya tinggi dan korupsi, itu hukumannya harus mati," kata Abraham dalam sebuah seminar politik kebangsaan di Kantor International Conference of Islamic Scholars (ICIS), di Jakarta, Kamis (12/12/2013). Apa yang disampaikan Abraham menjadi tolok ukur perilaku korupsi, ada yang terdesak ekonomi namun ada juga karena keserakahan. Namun ada satu hal lagi, pengawasan yang kurang serta lingkaran sekitar yang seolah melegalkan perilaku korupsi menjadikan korupsi adalah hal yang biasa dan wajar. Di sebuah daerah, Provinsi Sulawesi Utara misalnya. Seperti dilansir dari berita Tribunmanado.co.id Wakil Gubernur Sulut, Dr Djouhari Kansil berang saat kemarin, Rabu (11/12/2013) melakukan inspeksi mendadak. Ia mendapati beberapa PNS yang malas ngantor. Sebuah bentuk korupsi waktu padahal mereka dibayar dengan uang rakyat. Bukan hanya malas ngantor, di UPTD Pengembangan Sistem Informasi dan Telematika Wagub mendapati daftar hadir pegawai sudah ditandatangani satu paket. Artinya tanda tangan absensi kehadiran untuk masuk pagi hari dan pulang sore hari ditandatangani pagi hari, saat itu jam baru menunjukkan pukul 10:00 Wita "Kenapa sudah ditandangani, kan belum waktunya pulang?," tanya wagub ke seorang pegawai berinisial MT. Pejabat Eselon IV itu menjelaskan, mereka capek harus naik turun tangga, karena jika sudah apel di lantai dasar, sudah malas balik ke lantai 5 "Mau naik lift di kantor gubernur sering macet dan kalau mau naik tangga capek," jawab sang PNS. Si PNS juga menimpali bahwa, meski sudah ditandatangai toh, PNS yang ada tidak kemana-mana dan tetap di Kantor. Mendengar penjelasan MT, Wagub terlihat kesal ia langsung mencoret daftar hadir tersebut. "Kalau mau jadi pejabat harus belajar sopan santun, " tegas Kansil menegur MT. Lalu sebaiknya seperti apa? Korupsi waktu atau bermalas-malasan seolah menjadi hal yang biasa. Mungkin untuk koruptor seperti ini ada sanksi khusus yang bisa membuat kapok untuk melakukannya. Bagaimana untuk hukuman sekelas Rudi Rubiandini dan Akil Mochtar bila di persidangan terbukti bersalah melakukan kasus korupsi? Rasanya sayang bila hanya dengan hukuman mati biasa, seperti gas beracun, hukuman pancung, tembak mati atau hukuman gantung. Besarnya pengaruh dan efek jera secara nasional dibutuhkan sebuah hukuman yang membuat warga Indonesia bahkan dunia terhenyak. Bagaimana kalau bikin koruptor meninggal dalam tawa. Artinya memberikan hukuman mati bagi para koruptor dengan kondisi tewas dalam tawa. Kenapa? Meninggal dalam tawa merupakan hukuman yang sangat berat, saat kelelahan dan habis nafas tertawa si terhukum akan mengingat dan mendapati bahkan menertawakan kesalahan, keserakahan yang telah dibuat. Miliaran uang yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat habis untuk kerakusan diri sendiri. Seorang budayawan (maaf saya lupa) pernah menyampaikan, zaman Belanda pernah ada tervonis yang dihukum mati dalam tawa. Caranya? Tervonis dihukum gelitik. Secara bergantian algojo menggelitik terhukum hingga tewas. Itu terjadi bisa berhari-hari namun hukuman tersebut pernah dilakukan dan untuk saat ini memang di luar nalar manusia. Namun bila itu dilakukan sungguh luar biasa. Apakah koruptor meninggal dalam bahagia? Sebuah fenomena satir. Meninggal dalam tawa, menertawakan dirinya, sebuah tawa yang menyedihkan hingga ajal tiba. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun