Foto: Latar Depan Hotel Horas Abadi. Dokpri
Part II
Bang, sendirian yah ke sini. Pemuda itu kembali menanyai soal perjalananku.
Nggak bang, sama teman-teman. Kami sepuluh orang, yang lainnya dengan mobil. Hanya kami berdua yang dengan kereta berhubung tadi ada kuliah. Jadi kami nyusulnya kemudian dengan kereta ini.Â
Oh gitu ya bang. Rencananya mau ke mana aja kalau tiba di Samosir.Â
Aku pun belum tau bang. Nanti ikut aja teman-temanku itu. Tapi katanya kami akan pergi ke Si Bea-Bea, Holbung dan Onan Runggu. Cuma tempat itu aja dulu. Ga bisa pergi ke tempat-tempat yang lain. Soalnya besok harus kembali.Â
Ooh,,ke Onan Runggu. Orang abang nanti lewat tempatku, Palipi. Nanti mampirlah yah ke tempatku.Â
Makasih bang. Nanti kukabari jika ada kesempatan.
Setelah hampir setengah jam menunggu, Very Ihan Batak terlihat perlahan mendekat ke pelabuhan. Kapal inilah yang akan membawa kami ke Samosir. Besarnya tidak seperti Very Inerie yang pernah kutumpangi dari Flores ke Kupang. Apalagi jika dibandingkan dengan Tilongkabila yang melintas lintas propinsi dari Labuan Bajo hingga Surabaya. Very Ihan Batak hanya tiga deg saja. Selain kapal very ada juga perahu-perahu kecil lainya yang menjadi sarana transportasi ke Samosir dengan kapasitas yang kecil.
ABK (anak buah kapal) mempersilahkan kami masuk kapal dan kami pun bergegas lalu memarkirkan sepeda motor di sisi bagian depan kiri kapal dengan maksud supaya mudah keluar dari kapal saat tiba di pelabuhan. Kami terus menyusuri sisi kapal untuk mencari tempat duduk yang tepat.
Tibalah kami di deg III, paling atas, bagian belakang. Kami memilih duduk di bale-bale bagian samping supaya dapat menyaksikan alam danau yang indah dan menikmati angin segar yang meniup dengan manja. Di sisi yang berlawanan sekelompok boru Batak melambaikan tangan pada keluarga mereka sebelum kapal lepas jangkar dari pelabuhan.
Kulihat dari tempatku duduk seorang ABK melepaskan tali pertanda kapal akan berangkat. Bel berbunyi tiga kali semakin menegaskan bahwa sudah saatnya berlabuh. Aku memindahkan posisi dudukku ke sebuah kursi panjang tepat di bagian paling belakang, samping. Iringan lagu Batak yang meski tak kupaham artinya menemani perjalanan kami hingga tiba di pelabuhan Ambarita Samosir. Â
Di atas bangku yang panjang itu aku menarik sebatang rokok Acika. Kedua bola mataku mencuri pandang pada beberapa boru batak yang duduk berlawanan dengan arah kami. Sejenak lamunanku membuahkan beberapa ekspetasi yang membawaku terbang jauh, hampir tak menikmati pelayaran ini.
Ka'e, (panggilan khas kakak laki-laki dalam kebiasaan orang Flores) tak usah berlama-lama melihatnya, biasa aja, sahut Dowen yang duduk tepat dihadapanku.
Ahh, kamu. Yang begitu perlu dinikmati, meski tak harus dimiliki.
Hahaha, ayo. Kita nonton tarian di deg dua.Â
Emang ada penari juga, penari apa? Balasku.
Sudahlah, ikut aja. Yang jelas bukan penari stripis, balasnya sembari tertawa lepas.
Kami segera meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju deg dua. Ternyata memang benar, ada sekelompok boru batak usia remaja yang menari tor-tor dibaluti pakaian adat Batak berwarna coklat kemerahan dan di atas kepala mereka dihiasi mahkota. Mereka meliuk-liukkan tubuh mengikuti irama lagu batak.
Kami sungguh menikmati moment itu. Angin bertiup lembut dan kapal terus berlayar membelah air danau yang tenang namun tanpa sedikit pun kudengar bunyi ombak. Di hadapan kami terdapat sebuah kotak, tempat orang-orang memberikan uang sebagai bayaran atas tontonan tarian tersebut. Kuraba saku celanaku dan menarik uang lembaran sepuluh ribuh rupiah dan menaruhnya pada kotak itu.
Waktu tinggal 10 menit lagi. Mereka lantas menghentikan atraksi itu dan segera berkemas.
De, de, boleh foto bersama ngga? Tanyaku pada seseorang dari mereka.
Ohh, boleh bang, tapi jangan berlama-lama yah. Soalnya udah mau sandar kapalnya. Balasnya.
Kami pun berfoto bersama. Setelah tiga kali jepret aku mengucapkan terimakasih atas kesediaan mereka.
Terimakasih yah, sampai jumpa. Sahutku sebagai tanda ucapan terimaksih setelah berfoto bersama.
Ok bang, selamat jalan.Â
     ******
Kami tiba di pelabuhan Ambarita sekitar pukul 16.00. Waktu yang ditempuh ternyata hanya sekitar 50 menit. Selepas keluar dari kapal kami langsung bergegas  menuju rumah bapa Nainggolan sebuah keluarga yang akan menjamu makan malam untuk kami. Setibanya di rumah itu, kami disambut dengan penuh kekeluargaan dan persaudaraan. Kami diberikan minuman aqua dan makanan ringan.
Makan malam di sini kita yah, udah disiapkan makanannya, ujar bang Firman.
iya bang, tapi kami ke Tuk-Tuk dulu yah untu menghubungi hotel dan memberishkan badan.Â
Ok, kami tunggu yah. Jangan berlama-lama di sana.
Kami pun bergegas menuju ke Tuk-Tuk untuk menemui pihak hotel. Dalam perjalanan ke tempat ini saya menikmati panorama danau toba yang begitu indah dan eksotis.
Setiba di Tuk-Tuk kami disambut pula dengan penuh kehangatan oleh pihak hotal yang sudah kami kenal, namanya inang Abadi. Hotel itu namanya Horas Abadi, persis di pinggiran danau Toba.
Tak menunggu lama setelah kopi ditelan habis menyisahkan ampas kami segera turun ke danau. Yang lain memancing ikan dan saya hanya duduk di atas sebuah kursi sembari menikmati kopi hangat. Ekspetasiku terwujud aku ngopi sore di emperan danau Toba.
View danau makin menawan tatkala mentari mulai memerah yang biasa dinamakan sunset. Aku tak menyia-nyiakan moment itu. Kuambil beberapa gambar dari salah satu sisi danau. Pemandangannya eksotis. Tak lupa juga saya mengambil beberapa gambar perahu motor yang diparkir berjejeran di pinggiran danau tepat di bawah barisan pohon kelapa.
Terlihat handphoneku menerima pesan dari Kristin seorang boru Batak yang sudah ku kenal sekian lama sebelum datang ke pulau Sumatra.
Abang di Samosir? tanyanya via chat Whats Up. Rupayanya dia melihat story whats up yang baru saja saya upload beberapa menit yang lalu.
Iya de, aku di Tuk-Tuk sekarang, bermalam di sini. Â Rumah kamu di mana? Balasku.
Aku di Tomok bang. Mampirlah ke Tomok, ada konser di sini.
Nanti aku kabari yah, soalnya kami ada undangan makan di sebuah keluarga malam ini.Â
Ok bang. Sampai kapan berada di Samosir?
Besok sore balik lagi dek. Ga lama di sini. Tapi besok pagi kami akan berkunjung ke Sibea-bea dan Holbung. Mau ikut?
Mau banget sebenarnya ikut. Tapi besok aku harus kerja bang.Â
Ohh, baiklah. Lain kali aja. Sampai ketemu. Balasku mengakhiri diskusi dengannya.
Selepas memberishkan badan, tepat pukul 07.30 kami bergegas kembali ke rumanya bapak Nainggolan untuk makan malam. Kami disambut dengan penuh suka cita dan kekeluargaan. Meski mereka adalah wajah-wajah baru namun perjumpaan ini terasa sangat damai. Kami bercerita banyak hal dengan keluarga itu, berbagi pengalaman, diajari bahasa Batak, hingga minum tuak yang diramu dari kelapa.Â
Lalu kami makan malam dengan menu makanan yang sangat istimewa, ikan bakar Jair, sayur singkong, tuak dan buah semangka. Makan dengan tangan rupanya sangat nikmat ketimbang menggunakan senduk. Dan memang dalam adat orang batak, tamu dijamu dalam acara makan bersama tanpa menggunakan senduk. Untuk hal ini sangat sulit bagiku di awal-awal memulai kehidupan di tanah Sumatra ini.
Kami menghabiskan malam di rumah bapak Nainggolan dengan penuh sukacita. Malam pertama berada di pulau Samosir, sangat menyenangkan. Aku bisa merasakan hawa sejuk yang berasa menggelitik pori-poriku. Hingga waktu menunjukkan pukul 23.00 dan kami harus kembali ke hotel dan beristirahat.
****
Dyari 11 Maret 2022, aku menulis demikian:
Kembali berlayar....
 Bagiku setiap pelayaran memiliki kisahnya yang unik. Dulu terkatung-katung di selat Sawu dan pernah terhempas badai pagi di pelabuhan Tenau Kupang. Pengalaman dramatis yang tak pernah terlupakan. Kini aku berlayar lagi. Kali ini di atas air danau yang sangat tenang dan menawan. Danau Toba.
Kapal....
Barangkali ada banyak hal baru dan bermakna yang bisa kita petik dari kata ini. Pada zaman dahulu Kapal adalah transportasi yang paling murah dan banyak diminati orang. Jika hendak merantau, apa boleh buat, Kapal menjadi transportasi pilihan satu-satunya. Terutama bagi orang yang berekonomi rendah. Karena biayanya murah. Hal itu merupakan pilihan yang paling bijak. Tidak ada pilhan lain selagi kapal masih bisa mengantar anda menggapai mimpi-mimpi. Tak usah gengsi apalagi memaksakan kehendak dalam situasi yang pas-pasan.Â
Setiap pelayaran mengajariku banyak hal berharga yakni; tentang keberanian, kemandirian, sosialitas dan keteguhan hati. Jika anda keseringan berpergian melintasi lautan dengan kapal dengan sendirinya mental anda akan terbentuk menjadi seorang pemberani.Â
Di atas kapal juga anda bisa merasakan angin malam yang dingin, terikh mentari, kelaparan, jenuh, lelah dan bahkan kehujanan. Jangan heran melihat orang ketika lelah dan mengantuk lalu rebahan saja di bale-bale kapal. Pandangan seperti itu sudah biasa dalam dunia perkapalan.Â
Yang paling menarik adalah berkenalan dengan orang-orang baru. Barangkali inilah nilai sosial dalam dunia pelayaran. Perjalanan lintas laut itu membosankan dan melelahkan. Cara yang paling ampuh untuk membuang jenuh adalah dengan bercerita. Tak perlu malu untuk bertanya. Kelak alam akan menentukan kegunaan dari semua yang kita tanyakan itu.Â
 Dari setiap cerita lusuh tentang melaut mulai dari moment pertama hingga hari ini sudah begitu banyak nama dan wajah baru dalam ingatanku. Beberapa masih menjalin komunikasi via medsos. Perkenalanku dengan pemuda di emperan pelabuhan tadi mengingatkan aku akan pentingnya bertanya sebagai orang asing di tempat yang baru. "Bang, numpanglah ke tempatku jika sudah sampai di Samosir". Ucapnya waktu itu tatkala kami bercerita banyak hal mengenai Samosir dan Danau Toba. Aku menyadari berkomunikasi adalah hal penting ketika berpergian ke tempat yang jauh dari kampung halaman.Â
Bersambung...Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H