Sore itu langit-langit kota Pematangsiantar terang benderang memancarkan sisa cahanya yang sebentar lagi buram ditelan pekatnya kegelapan malam. Tak ada tanda hujan yang bernama mendung. Tapi entah kenapa hatiku yang malah mendung setelah berjumpa dengan Wani di taman kota pada sore itu.
Wani (nama samaran) adalah seorang wanita paruh baya yang sangat manis. Tingginya pas--pasan dan badannya ramping, berpakaian sangat rapi, sopan dan mengenakan jilbab untuk menutupi kepalanya. Dia bekerja di salah satu rumah makan yang bersebelahan dengan taman tersebut demi menghidupi keluarganya.
Wani menyuguhkan secangkir kopi untuk kami dengan harga lima ribu rupiah satu cangkir. Cangkirnya berwarna putih bergambar bunga mawar merah pada bagian luarnya. Seperti biasa kopi itu campuran dua rasa yaitu setengahnya pahit dan setengahnya manis. Dua rasa itu menyatu dalam satu wadah yakni cangkir.
Tapi kali ini ada yang berbeda dengan kopi yang pernah kuseduh selama ini. Bukan sekedar kopi dan bukan pula sekedar cangkir. Ada aroma dan rasa yang berbeda yang mengusik ekspetasiku tentang kopi. Terlebih lagi mengggugat ruang kenyamananku.
Kopi itu dia (Wani) suguhkan bersama pahit dan manisnya kehidupan yang dia jalani. Berawal dari obrolan yang sederhana hingga berujung ke curhat. Tanpa diawali dengan sebuah tanya Wani spontan menceritakan kehidupannya. Layaknya kopi, perpaduan dua rasa, pahit dan manis menyatu dalam dirinya (wani). Ternyata dia adalah tetangga rumah yang biasa lewat di depan rumah kami. Dia bekerja di sini untuk menghidupi keluarganya dengan gaji 50. Ribu rupiah perhari. Betapa aku merasa diri sangat bersalah atas segala hal yang kuperoleh selama ini, sedang di sekitarku ternyata ada hidup yang berlawanan.
Aku tertegun mendengarkan dia berbicara sembari terus meneguk kopi manis buatannya. Meski bagi dia habis atau tidaknya kopi itu tidak terlalu penting. Bagi dia yang penting secangkir kopi lima ribu rupiah yang dijualnya laku dan dia mendapatkan cuan. Hanya dengan cara itu dia dapat membeli sesuap nasi untuk sehari dan selebihnya ditampung untuk menghidupi kedua anaknya.
Kami mengirit pertanyaan demi menghormati dan menjaga rasa. Tentu saja ada rasa enggan untuk bertanya lebih jauh. Hanya mengamini saja dan sedikit memberi peneguhan agar dia kuat menjalani hidup yang begitu sulit. Sesekali ceritanya para lelaki hidung belang menawarkan sejumlah uang demi membawanya ke ranjang. Tetapi godaan itu ditolaknya dengan lembut. Aku mikirnya ke anak bang, nanti anak-anakku yang mengalami dampak dari semua itu.
Sampai pada titik itu aku semakin tertegun dan terharu. Betapa berat kehidupan yang dia jalani. Aku enggan menanyakan lebih jauh tentang kehidupannya. Aku takut menyinggung perasaan dan merendahkan dirinya. Kubiarkan dia bercerita hingga raut wajahnya yang manis menjadi sembab menandakan betapa dia benar-benar berada dalam situasi yang tidak mudah. Ahh, sudahlah bang, hidup di luar itu tidak mudah. Sulit cari kerja sekarang. Gajiku Cuma Rp. 50. 000 sehari. Ucapnya waktu itu.
Mungkin terlalu egois jika saya mengatakan "aku harus kuat". Aku tak boleh jatuh dan terjebak dalam rasa haru yang berlebihan. Terharu saja tidaklah cukup menolong seseorang yang sedang susah. Kamu mesti melakukan sesuatu yang bisa membantu dia keluar dari kesulitannya. Jatuh lebih jauh ke dalam "kedalaman" perasaan orang itu memang mudah  tetapi tidak mudah pula bangkit dari kejatuhan itu. Bukan karena aku tidak peduli dengannya, tapi aku sadar aku tak bisa berbuat banyak untuk Wani. Aku sadari pula ada batasan sosial dan identitas yang sangat kontradiktif di antara kami. Kuputuskan untuk membawanya senantiasa dalam doa. Barangkali doaku mendatangkan rahmat untuk dirinya. Meski keyakinan kami berbeda. Tetapi aku tahu Tuhan itu baik kepada siapa saja.
Aku hargai pelayananya dengan meneguk kopi itu hingga menyisahkan ampas. Kesukaanku dengan kopi terbentuk sejak dini karena aku terlahir dari budaya penghasil dan penikmat kopi. Bagiku kopi adalah penawar yang paling nikmat untuk sebuah kehidupan yang sangat penat oleh karena berbagai kesibukan.