Mohon tunggu...
Robertus Aryo
Robertus Aryo Mohon Tunggu... Auditor - Mahasiswa Pascasarjana

Mahasiswa Part-Time, pecinta wisata dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kesenian Menjadi Fondasi Pendidikan: Relevansi Filosofi Ki Hadjar Dewantara Masa Kini

13 Desember 2023   12:20 Diperbarui: 13 Desember 2023   12:27 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

‘Ambuka raras angesti widji’. Dalam Bahasa Indonesia, ujaran Bahasa Jawa dari Ki Hadjar Dewantara tersebut dapat diartikan menjadi ‘kesenian sebagai dasar dari pendidikan’. Ketika masih menjadi pendiri Taman Siswa di tahun 1920an, Ki Hadjar Dewantara telah memiliki suatu gagasan untuk menjadikan kesenian sebagai fondasi pendidikan di Indonesia.

Sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, tidaklah mengherankan bahwa Ki Hadjar Dewantara senantiasa memikirkan bagaimana caranya melahirkan generasi mendatang yang memiliki pendidikan berkualitas. Semasa hidupnya, beliau melahirkan beberapa karya dalam bentuk tulisan, antara lain ‘Bagian Pertama: Pendidikan’ dan ‘Bagian Kedua: Kebudayaan’. Bercermin kepada kedua karya ini, saya memahami bahwa Ki Hadjar Dewantara telah memiliki gagasan untuk membentuk pendidikan berkualitas di Indonesia dengan melibatkan unsur kebudayaan sebagai salah satu fondasi pembentuknya.

Bagaimana sistem pendidikan masa lalu?

Pada masa lalu, Ki Hadjar Dewantara menerapkan sistem among pada pembelajaran di Taman Siswa. Anak-anak diarahkan untuk belajar, berolah raga, sekaligus berolah seni untuk membentuk pribadi anak secara leluasa. Maka dari itu, semboyan  ‘ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’ menjadi unsur yang penting, dimana para pengajar perlu memberikan contoh dan dorongan kepada anak untuk membentuk kepribadian yang baik. Di sisi lain, ujaran ‘ambuka raras angesti widji’ juga tercermin dalam sistem tersebut, karena anak tidak hanya diajari secara materi pengetahuan saja, namun juga didukung oleh olah raga dan olah seni untuk mengembangkan karakter positif pada anak.

Untuk memahami lebih lanjut mengenai kerangka berpikir Ki Hadjar Dewantara, maka saya akan menggunakan Logic Model (Knowlton dan Phillips, 2012). Logic Model sering diterapkan untuk menjelaskan keterkaitan antara suatu tujuan dengan program dan kegiatan yang disusun untuk mewujudkan tujuan tersebut. Logic Model juga dimanfaatkan untuk menentukan apakah input yang dimiliki bisa menghasilkan output dan outcome yang diharapkan. Untuk merangkaikan keterkaitan antara kesenian dan pendidikan pada gagasan sistem pendidikan di Indonesia menurut Ki Hadjar Dewantara, kita perlu mengetahui tujuan utama yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, dengan dikaitkan pada unsur kesenian. Secara ringkas, Logic Model pendidikan di Indonesia dapat diartikan dengan ‘apa yang ingin dicapai’ dan ‘bagaimana cara mencapai tujuan tersebut’.

Apa yang ingin dicapai?

Jika melihat tujuan atau hal yang ingin dicapai oleh Ki Hadjar Dewantara, maka dapat dipahami bahwa beliau ingin masyarakat Indonesia memiliki pendidikan yang tinggi. Dengan kata lain, dalam jangka panjang, Ki Hadjar Dewantara berharap bahwa masyarakat Indonesia dapat memiliki semangat untuk mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Untuk membangun semangat mengejar pendidikan tinggi ini tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sehingga berdasarkan Logic Model, tujuan ini dapat dikategorikan sebagai outcome jangka panjang. Tujuan ini umumnya diukur dengan indikator global seperti skor Programme for International Student Assessment (PISA), dimana saat ini peringkat Indonesia naik lima posisi dari tahun 2018, meskipun terjadi penurunan skor rata-rata sebesar 12 poin.

Jika pembangunan semangat masyarakat dalam mengejar pendidikan tinggi butuh waktu yang cukup panjang, maka dalam jangka menengah, pemerintah dapat berupaya untuk melakukan peningkatan terhadap kualitas kurikulum pengajaran yang ada. Peningkatan kualitas kurikulum tidak dapat dicapai dalam satu tahun, karena pasti memerlukan uji coba penerapan terhadap peserta didik, dan evaluasi atas hasil penerapan untuk memperoleh kritik dan masukan terkait kurikulum yang diuji coba.  Maka dari itu, perlu juga untuk menentukan tujuan jangka pendek, yaitu hal-hal yang dapat dicapai oleh dunia pendidikan adalah melalui serangkaian program yang dapat diterapkan dalam satu tahun. Dalam hal ini, pemerintah dapat menyelenggarakan suatu program untuk meningkatkan paparan kesenian dalam kurikulum peserta didik di Indonesia.

Bagaimana cara mencapai tujuan tersebut?

Untuk dapat mencapai tujuan jangka pendek yang ditetapkan, dapat dicapai melalui pelaksanaan berbagai kegiatan. Contoh kegiatan yang dilakukan antara lain seperti penyusunan kurikulum yang mengintegrasikan kesenian untuk membangun kecerdasan emosional anak; membuat panduan pengajaran interaktif sehingga kegiatan belajar mengajar dapat menyenangkan bagi peserta didik; atau menyelenggarakan pekan pendidikan dan kebudayaan untuk membentuk kepribadian anak yang berkarakter. Maka dari itu, guru maupun sistem pendidikan menjadi unsur input yang tidak kalah penting untuk mendukung pencapaian seluruh tujuan pendidikan di Indonesia.

Apakah filosofi ‘ambuka raras angesti widji’ masih relevan saat ini?

Jika membandingkan situasi pendidikan saat ini, seharusnya filosofi tersebut masih sangat relevan diterapkan di Indonesia. Kita masih bisa melihat bahwa siswa tidak hanya belajar di kelas, namun juga mengikuti berbagai macam kegiatan kesenian, seperti menyanyi, melukis, menari, dan macam-macam kegiatan lainnya. Kita masih bisa menjumpai perguruan-perguruan tinggi yang fokus untuk mendidik calon-calon seniman masa depan. Tetapi, jika membahas mengenai efektivitas penerapan filosofi tersebut pada generasi muda saat ini, saya berpendapat bahwa teknologi berperan besar dalam menurunkan peranan kesenian dalam membentuk karakter seseorang untuk dapat mengejar pendidikan setinggi mungkin.

Meminjam istilah Aristoteles, bahwa sulit untuk membentuk ethos (kredibilitas) seseorang karena terdapat proses pembentukan karakter melalui kegiatan seni yang mulai terkikis perkembangan zaman dan teknologi. Pembentukan panthos (emosi) turut terpengaruh, dimana kesenian dianggap berperan mempengaruhi pembentukan kreativitas dan kecerdasan emosional seseorang. Pada akhirnya, logos (logika) memang terbentuk, tetapi tidak didukung dengan kreativitas dan kecerdasan emosional yang berperan membentuk karakter seseorang.

Konklusi

Mungkin sudah saatnya Indonesia bercermin pada kesuksesan pendidikan di negara-negara wilayah Skandinavia seperti Finlandia, Denmark, atau Swedia, yang dikenal dengan keunggulan sistem pendidikannya. Negara-negara ini menekankan kepada bagaimana membangun kreativitas dan kolektivitas individu sejak dini. Anak-anak tidak dituntut untuk menghafalkan buku-buku dan kelulusan tidak ditentukan dari pengujian standar seperti penggunaan Ujian Nasional di Indonesia. Mereka lebih fokus dalam membentuk karakter anak, karena karakter akan mendorong seseorang untuk mencapai apa yang dia inginkan, termasuk dalam mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Dengan kekayaan budaya dan kesenian yang kita miliki di Indonesia, apakah Indonesia mampu untuk memanfaatkan dan mengintegrasikannya ke dalam sistem pendidikan yang ada saat ini? Mari berharap semoga akan segera muncul suatu kurikulum yang dapat memaksimalkan kebudayaan dan kesenian yang kita miliki, agar dapat membentuk karakter generasi penerus bangsa yang unggul.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun