Mohon tunggu...
Robertus Widiatmoko
Robertus Widiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Menerima, menikmati, mensyukuri, dan merayakan anugerah terindah yang Kauberikan.

Indahnya Persahabatan dalam Kebersahajaan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pertarungan Ajaib

18 Desember 2015   13:43 Diperbarui: 18 Desember 2015   14:34 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di puncak pegunungan yang menjulang tinggi dengan hamparan hutan yang sangat luas terdapatlah sebuah pondok berdiri kokoh. Bangunan itu panjang membentang. Atapnya terbuat dari dedaunan pohon kelapa yang tersusun sangat rapi. Tiap-tiap sudutnya terdiri dari kayu-kayu jati melingkar. Pondok itu nampak asri dengan dihiasi kentongan beserta alat pembunyinya. Ada juga tersusun tangga kayu bertingkat –tingkat sebagai jalan menuju pintu. Di sampingnya berdiri bebatuan dengan obor api yang siap dinyalakan. Itulah Pondok Persilatan Bima Sakti. Dipimpin seorang kakek sakti bernama Ki Gledek. Seorang pertapa yang memiliki kesaktian tiada tanding.

Ia memimpin dengan tangan besi, suka tertawa, perkasa, dan cepat berkelebat. Jika tertawa kedengaran aneh sekali. Ledakan ketawanya mampu melumpuhkan lawan. Seantero jagat persilatan tiada yang berani berhadapan muka dengannya. Betapa dia sangat ditakuti oleh dunia persilatan. Giginya bagaikan kait daging, kaki tangannya seperti besi, dan cakarnya bagaikan gigi seekor hiu putih yang sudah diasah. Desah nafasnya sekali ditiup bagai badai yang siap memporakporandakan bahkan melemparkan lawan sejauh dua hingga tiga tombak. Ia memiliki lima pendekar muda sebagai murid asuhannya. Satu diantaranya adalah seorang perempuan. Masing-masing memiliki kecakapan dan kesaktian yang luar biasa.

“Murid-muridku tiba kini saatnya kita akan melakukan pagelaran pendekar seantero jagat. Kalian Aki minta persiapkan baik-baik. Jangan sampai memalukan nama Aki dan perguruan kita!” serunya. “Daulat Kiii” serempak kelima pendekar asuhannya itu menyahut. “Aki, saya mau bertanya , “Siapa lawan tangguh kita nanti?” tanya pendekar perempuan itu. Ki Gledek manggut-manggut. Ia memerhatikan satu per satu muridnya. “Iya, ada lawan kalian yang sangat tangguh. Pendekar itu tinggal di Padepokan Keramat Jati. Letaknya ada di sebelah jurang paling dalam itu. Jurang itu di dasarnya ada batu-batuan tajam dan kita menyebutnya ‘Batu Maut’.

Pendekar itu sering menggunakan baju kuning terbuat dari lapisan emas yang tak bisa dihancurkan oleh lawan. Bahkan tombak pun tak mampu mengoyak lempengan emas itu. Entah kekuatan dari mana Aki kurang begitu tahu. Julukan pendekar itu Pendekar Berhati Emas” Ki Gledek mengajak kelima murid asuhannya ke mulut jurang. Jarinya menunjuk ke bawah. Sesekali ia mengingatkan mereka agar berhati-hati dengan keberadaan pendekar itu. “Di manakah dia Aki?” temannya yang lain mulai ketakutan dan gugup begitu gurunya mengingatkan untuk berhati-hati. Namun, Ki Gledek tak menggubris pertanyaan itu. Di antara mereka hanya saling bertatap muka heran dengan perilaku yang dipertontonkan gurunya. “ Aki tidak mengetahui keberadaannya sampai dengan detik ini. Selama ini tak ada yang memperguncingkan sepak terjangnya” jawabnya. Tiba-tiba ada sekelebatan orang ingin menyerang mereka. Ada sepucuk panah melesat kencang hampir mengenai salah satu dari mereka. Untung saja Ki Gledek segera menangkapnya dengan sigap. Hupsss!!!. “Hampir saja mengenai kamu, putriku.” Bayangan itu secepat kilat hilang meninggalkan hutan.

Malam bulan purnama telah tiba. Para pendekar jagoan berkumpul di pelataran tepat di bawah Pondok Persilatan Bima Sakti. Setelah mendengar peraturan yang dibacakan oleh Ki Gledek para pendekar menyiapkan diri untuk bertarung. Ada 25 pasal yang mesti mereka taati. Jika salah satu pasal dilanggar mereka harus dengan lapang dada keluar dari arena pertarungan. Saat mau memulai satu pertarungan tiba-tiba salah satu dari pendekar itu meloncat. Dia berdiri di atas gelondongan kayu dan memutar-mutar senjata saktinya. Benda itu terus - menerus berputar dan mengeluarkan asap hitam pekat dan berhasil menyita perhatian pendekar-pendekar lainnya. Lalu kata pendekar itu “Aku tidak setuju dengan arena pertarungan ini. Kita tak mungkin bisa memenangkan pertarungan ini. Mustahil. Lihat dan perhatikan dengan seksama!”sambil mendorong gelondongan kayu itu satu per satu. “Pencuri pasti akan melakukan apapun dengan segala cara untuk mendapatkan barang jarahannya. Kayu-kayu ini telah ditebari perangkap beracun, siapa yang terjatuh pasti kakinya akan terkena racun. Dan setelah itu mereka akan menghabisinya!” teriaknya. Ki Gledek tidak mau kalah.

“Tenang, tenang. Kalian para pendekar dan jagoan hebat. Tolong hiraukan ucapannya!Kami tak sejahat itu! Jika memang sang pendekar tidak berani bertarung silakan angkat kaki dan tinggalkan arena ini!” gertak Ki Gledek. Kemudian para penjaga dengan sekuat tenaga merobohkan sebuah pohon di depannya mencoba mengusir pendekar itu. Ketika pohon itu mau roboh dan hendak menimpa pendekar itu tiba-tiba sekelebat bayangan terbang dan melempar pohon itu dan ia segera menariknya dari arena. “Terimakasih telah menyelamatkan aku dari bahaya maut. Para pendekar yang lain terkesima menyaksikan adegan bahaya itu. Semua bersorak sorai. Rupanya Pendekar Berhati Emas datang. Mereka kembali menyaksikan pertarungan yang akan digelar. Murid asuhan Ki Gledek bersiap. Salah satu dari mereka mulai geram dan ingin segera menghabisi Pendekar Berhati Emas. Satu, dua, tiga jurus keduanya bertarung di atas gelondongan kayu-kayu itu.

Tidak berapa lama Pendekar Berhati Emas itu berhasil menjatuhkannya. Satu murid lari terbirit-birit meninggalkan gelanggang. Turunlah pendekar wanita itu. Dia mulai geram juga dan berniat mengalahkannya. Ki Gledek terheran-heran kenapa jebakan racunnya tak berhasil melukai Pendekar Berhati Emas. Ia terpelongok sebentar melihat jurus-jurus hebatnya yang demikian mematikan. Wanita pendekar itu mulai terpojok. Ia sangat kewalahan dan selalu mau terjatuh terus hingga pada suatu titik terakhir ia tak dapat lagi menginjakkan kakinya di atas gelondongan kayu. Racun itu telah mengenai sebagian tubuhnya. Ki Gledek mulai khawatir dan panik. Ia pun segera meluncur mendekati murid kesayangannya. “Berhenti...berhenti! Pendekar Berhati Emas. Kamu benar-benar petarung sejati. Aku mengakui kehebatanmu. Cukup, aku tak mau ada yang terbunuh.” sahutnya. “Apa yang membuatmu bisa bertahan dengan racun mematikan ini, pendekar?” pendekar wanita itu penasaran. Pendekar Berhati Emas itu menjawab ,” Ada 3 syarat untuk memenangkan pertarungan ini. Yang pertama adalah kerendahan hati, selanjutnya yang kedua pengakuan bahwa kehebatan kita untuk dunia agar lebih baik, dan terakhir yang ketiga yakinlah bahwa kehebatan itu adalah anugerah Tuhan semata.

Ia yang memiliki semua ini. Sedangkan racun yang mematikan itu adalah kerakusan, kesombongan, dan mengandalkan diri sendiri. Sehebat-hebatnya kita masih ada yang lebih hebat dari kita. Dan di atas langit masih ada langit. Kemahakuasaan Sang Pencipta sering kali kita lupakan karena ingin menguasai semua yang kita ingini. Inilah pertarungan yang sebenarnya kita hadapi. Kebatilan harus dilawan dengan kebaikan. Kebaikan harus diusahakan untuk kesejahteraan umat manusia. “ Ki Gledek dan murid-murid asuhannya sangat memahami apa yang diomongkan Pendekar Berhati Emas itu. Dunia persilatan hari itu dihebohkan oleh kehadiran sang petarung sejati. Decak kagum di antara sekumpulan pendekar-pendekar hebat mewarnai arena pertarungan yang digelar hari itu. Satu per satu perlahan-lahan mereka meninggalkan arena pertarungan. Tidak hanya itu, semua peralatan tarung mereka tinggalkan. Ada parang, kapak, panah, tombak, pedang, belati , dan pakaian yang melekat badan mereka lucuti dan tinggalkan.

Para pendekar hebat itu ingin menciptakan perdamaian dan membangun kembali peradaban baru. Mereka sepakat meninggalkan kegaduhan dan hingar bingar yang menyesatkan. Pendekar Berhati Emas itu pun menyusul meninggalkan pelataran Pondok Persilatan Bima Sakti. Seluruh murid Ki Gledek penghuni pondok itu memasuki ruangannya masing-masing. Hanya tinggal Ki Gledek sendirian. Pandangannya tajam mengarah ke jurang paling dalam. Mata air pegunungan terus mengalir deras terus gemericik melewati bebatuan-bebatuan di hamparan sepanjang sungai. Ia berdiri mendekati air terjun itu. Dan Ki Gledek tertawa lepas haaa...haaa...haaa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun