Sejak tahun 2018 lalu, saya adalah seorang mualaf. Sebelumnya saya beragama katolik dan berasal dari keluarga katolik. Mengapa saya mualaf?
Sederhana saja karena saya mengimani apa yang diajarkan dalam islam. Saya belajar, saya percaya dan saya yakin, iman ini, hidayah ini datangnya dari Allah. Tidak pernah ada manusia yang mempengaruhi saya untuk masuk islam. Semua adalah keinginan saya sendiri. Hasil pencarian saya sendiri. Orang bilang ya ini adalah hidayah dari Allah dan saya menerimanya dengan hati terbuka.Â
Seperti kebanyakan orang, perjalanan seorang mualaf memang tidak pernah mudah. Di masa awal kemualafan saya, saya belum berniat memberi tahukan hal ini kepada orang tua saya sampai waktu yang menurut saya tepat.
Namun apa daya, mungkin ini juga salah satu takdir Allah, Ibu saya menemukan saya menyembunyikan al-quran di lemari saya entah bagaimana caranya.
Hari itu konflik mulai terjadi. Tuduhan demi tuduhan masuk. Mulai dari dituduh ikut-ikutan pasangan, dipengaruhi teman kuliah, dipengaruhi lingkungan kerja sampai yang paling ekstrem adalah dituduh masuk kelompok radikal. Mari kita bedah satu per satu.Â
Dipengaruhi pasangan. Ketika saya memutuskan untuk masuk islam (tapi belum bersyahadat) saya mempunyai pasangan seorang Kristen. Karena saya sebelumnya pun seorang Katolik.
Memang tak lama setelah itu hubungan kami berakhir namun ketika ada kesempatan untuk memperbaiki lagi saya memutuskan untuk berhenti karena saya sudah mantap untuk menjadi mualaf dan tidak mungkin melanjutkan hubungan dengan pangasan saya tersebut.
Sampai hari di mana saya melakukan syahadat pun saya tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa-siapa lagi. Sehingga, tuduhan menjadi mualaf karena dipengaruhi pasangan merupakan sesuatu yang tidak valid.
Dipengaruhi teman kuliah. Ya, memang saya kuliah di sebuah perguruan tinggi negri yang cukup kental dengan nuansa islami di daerah Surabaya.
Mayoritas teman-teman kuliah saya adalah muslim. Itu pun beragam, ada yang konservatif dan ada juga yang cukup moderat.
4 tahun saya kuliah di Surabaya, agama saya yang saat itu masih Katolik tidak pernah menjadi penghalang untuk saya berkembang dan bersosialisasi selama kuliah. Saya memiliki teman-teman yang sangat menghargai keberagaman.