Menko Rizal Ramli(RR) menyebut ada tujuh 'begal' dalam praktik impor garam di Tanah Air. Ketujuh 'begal' ini seperti predator yang kejam sekali yang mengambil keuntungan dari kuota impor garam yang diizinkan pemerintah.Menko RR menyebut Sistem Kuota merugikan, rentan suap, dan hanya menguntungkan segelintir oknum.
Sistem Kuota untuk importasi garam harus diubah menjadi Sistem Tarif.
Indonesia tidak henti-henti mengulang-ulang memberlakukan Sistem Kuota. Pada waktu Skandal Daging Sapi, Direktur Perdagangan Luar Negeri Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementan:
• Indonesia melakukan praktek perdagangan yang bertentangan dengan aturan main WTO. Aturan WTO menyebutkan suatu negara dilarang membatasi perdagangan melalui Kuota.
Kerugian Sistem Kuota termasuk pelajaran dasar waktu kita belajar Ilmu Ekonomi, Bea Cukai dan Logistik.
Sistem Tarif
Untuk melindungi Industri Lokal dapat dipakai Sistem Tarif. Kementerian Perdagangan mengungkapkan bahwa pemerintah tengah menggodok rencana pengenaan Tarif untuk impor garam oleh Tim Tarif yang dikoordinasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
Pembahasan tarif impor garam ini merupakan tindak lanjut dari usulan Menko RR yang meminta mekanisme impor garam diubah dari Sistem Kuota menjadi Sistem Tarif. Sesungguhnya Menteri Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang pertama berteriak dan berang dengan adanya garam impor yang masuk di saat petani garam sedang panen. Kemendag terkesan menyikapi Menteri Susi dengan enteng, mengeluarkan pernyataan impor Garam Industri nggak bisa nunggu panen garam lokal selesai. Impor juga untuk kebutuhan industri aneka pangan. Semua berlindung dibalik demi Kepentingan Nasional.
Keuntungan Sistim Tarif:
• Bebas Impor garam tanpa meminta Izin dari Kementerian tertentu. Dalam hal garam dari Kemenperin.
• Tidak adanya Izin khusus berarti oknum Kementerian sukar menuntut ”Fee” dari Importir. Apalagi jika banyak importir yang memasukkan Garam.
• Adanya Bea Masuk memaksa Importir menghitung dengan cermat sebelum melakukan impor. Harga Garam Impor ditentukan Pemerintah, dengan cara menaik-turunkan Tarif. Ini senjata paling ampuh untuk melindungi Petani Garam.
• Pemerintah juga dapat memberi insentif kepada Petani untuk memperbesar usaha mereka, dengan cara meninggikan Harga Garam Impor yaitu dengan meninggikan Bea Masuk.
• Tarif meningkatkan pendapatan Pemerintah. Sekarang ini impor garam sebesar 2,2 juta ton/tahun, menurut rencana dikenakan Bea Masuk Rp 200/kg, maka pemasukan bagi Negara sebesar Rp 440 miliar/tahun.
Aturan WTO memperbolehkan pemberlakuan tarif impor hingga 65% dari total nilai barang.
Menko Rizal Ramli Si 'Rajawali Ngepret' perlu menghentikan Sistem Kuota, sekarang dan selamanya
Sistem Kuota berlaku tidak hanya untuk impor garam tetapi juga untuk impor gula, daging, dan banyak komoditi impor lain. Sistem Kuota berlaku pada waktu Pemerintahan SBY malah sudah dikenal pada zaman Orde Lama.
Skandal suap daging juga melalui proses sama, yaitu Sistim Kuota. Pemerintah memalingkan mukanya berpura-pura tidak tahu mengapa LHI seorang Ketua Partai mendapat uang sogokan dari sebuah Perusahaan pemegang Kuota Daging Sapi. Berpura-pura tidak tahu bahwa LHI hanya pesuruh Oknum atau kelompok Oknum dari Kementerian yang memberikan Kuota. Yang dihukum hanya LHI, pesuruh kecil dan penyuap, salah seorang Pemegang Kuota.
Yang perlu ditangani bukan hanya tujuh 'begal' tetapi Oknum Pemerintah, rentenir yang sesungguhnya dibalik skema importasi garam ini.
Lisensi dijaman Orde Lama
Sebagai pembelajaran mungkin ada manfaatnya jika kita menengok ke jaman Orde Lama. Dalam rangka Berdikari( Berdiri diatas kaki sendiri) dan menolong Pengusaha Pribumi maka Pemerintah memberikan mereka berbagai Lisensi. Lisensi sesungguhnya sejenis Kuota yaitu pembatasan: Pemerintah menentukan siapa saja yang berhak menjalankan usaha tertentu.
P
engusaha tekstil di Majalaya adalah contoh klasik. Pengusaha tekstil yang mendapat Lisensi untuk bahan tekstil mendadak menjadi kaya raya. Mereka menjadi malas, menjalankan pabriknya sekadarnya agar tetap dicatat sebagai Pengusaha Tekstil. Bahan tekstil yang didapat melalui lisensi sebagian besar dijual dengan keuntungan berlipat ganda. Mereka hidup mewah. Sebagian menyewakan “lisensi” yang mereka punyai tersebut kepada pengusaha-pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal dari pengusaha keturunan Tionghoa. Praktek kongkalingkong ini lah yang melahirkan istilah Ali-Baba. Si Ali yang memiliki lisensi dan si Baba yang memiliki uang untuk memodal kerja lisensi tersebut. Majalaya sekarang tinggal sejarah. Proteksi berbentuk Lisensi berakibat Industri tekstil rumahan semakin tidak mampu bersaing dengan Industri besar.
Pemilik Lisensi vs Begal Modern
Begal sekarang terpelajar dan cerdas, bekerja dengan strategi perang. Semakin menikmati Kuota semakin berkembang Usaha mereka, semakin besar Jaringan operasi mereka. Begal sekarang bekerja sama dengan Oknum di Pemerintahan. Republik ini terbuka lebar untuk Para Begal bersenang-senang, berpesta pora menikmati hak-milik 250 juta Bangsa Indonesia.
Begal perlu dihilangkan sekarang dan untuk selamanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H