Mohon tunggu...
Robert Parlaungan Siregar
Robert Parlaungan Siregar Mohon Tunggu... lainnya -

Sekarang Pemerhati Indonesia Kekinian.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

PBB+ BPHTB Perlu (di)Tingkatkan, Bukan (di)Hapus. Tuhan?

6 Februari 2015   13:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:44 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir menggembirakan, bahkan pada 2012 mencapai pertumbuhan ekonomi terbesar no 2 di dunia. Sayangnya pertumbuhan ekonomi sebagian masih dibiayai oleh pajak dari Sumber Daya Alam ( SDA) dan Pinjaman dari Luar Negeri .

Kita menyaksikan betapa banyak hutan yang ditebangi pohonnya untuk diekspor. Pertambangan secara sangat intensif menggali hasil bumi kita tanpa perduli kelestarian alam kita.

Kita perlu meningkatkan pajak di luar pajak SDA dan mengurangi Pinjaman Luar Negeri untuk menjalankan roda pemerintahan, termasuk pembangunan infra struktur. Termasuk juga usaha pengurangan kemiskinan dan pemerataan pembangunan.

PBB untuk tanah yang luasnya kurang dari 200 meter persegi.

Robin Hood mengambil sebagian harta orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Kantor Pajak mempunyai fungsi dan tugas yang sama dengan Robin Hood.

Pemilik tanah/rumah di Jakarta ( dan kota lainnya) mendapatkan begitu banyak kemudahan, kenikmatan dan kemewahan seperti listrik dari PLN, air bersih, jalan beraspal dan jalan Tol. Disebut kemudahan, kenikmatan dan kemewahan jika dibandingkan dengan begitu banyak saudara kita yang tinggal di daerah terpencil dan tidak menikmati kemudahan orang kota.

Masih banyak lagi keuntungan dari mereka yang memiliki tanah/rumah di Jakarta dan kota-kota lainnya apalagi yang berlokasi di daerah mewah.

Kemudahan, kenikmatan dan kemewahan diatas, dibiayai pemerintah RI. Pemerintah milik 250 juta bangsa Indonesia, kaya miskin, tinggal di kota maupun di daerah terpencil.

Jika kita memegang prinsip gotog royong dan berkeadilan maka sepatutnya pemilik tanah/rumah diatas membayar PBB, berapapun luas tanah/rumah mereka.

Mencegah hasil buruk yang tidak diinginkan

Bagaimana dengan mereka yang memiliki 2 atau lebih tanah yang masing-masing luasnya kurang dari 200 meter persegi?

Kita perlu perkenalkan PBB Berjenjang. Untuk tanah yang pertama PBB sebesar 100% dari Tabel. Yang kedua 150% dan seterusnya.

Untuk Tanah yang “menganggur” perlu dikenakan Pajak baru, dapat kita sebut Pajak Tanah Menganggur.

Sekarang ini rata-rata kenaikan harga tanah sebesar 30-40%/tahun sedangkan kenaikan gaji mungkin hanya 10%/tahun. Bisnis “menimbun tanah” sangat menggiurkan dan mengakibatkan ketimpangan yang sangat parah.

Ketimpangan dan jurang antara warga yang kaya dan yang miskin tergambar dari data BPN: 2% penduduk Indonesia memiliki 56% aset produktif nasional. Dari 56% asset nasional itu 87% berupa tanah.

Masih banyak cara yang harus kita perkenalkan untuk mencegah Penimbunan Tanah.

Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

BPHTB bukan dihapus tetapi malah ditingkatkan, khusus untuk penjual. Dengan gencarnya pembangunan di Indonesia, banyak tanah yang dujual dengan dengan harga lebih dari 10 kali lipat harga pembelian. karena Pemerintah membangun jalan atau infrastruktur di depan/sekitar tanah tersebut.

Atas keuntungan yang tidak wajar tersebut, komentar umum adalah : untung/rejeki dia atau dia jeli melihat perkembangan pembangunan.

Mereka yang bertugas di “Perencanan Pembangunan”, termasuk Badan Pertanahan Nasional tentu jeli, sangat jeli.

Yang sesungguhnya terjadi adalah kenaikan harga tanah disebabkan investasi pemerintah, investasi yang dibiayai 250 juta bangsa Indonesia.

Selain BPHTB khusus untuk penjual perlu diperkenakan Pajak Pertambahan Nilai. Untuk ini perlu kita bicarakan terpisah.

Tuhan dan Pajak

Diberitakan bahwa Menteri Agraria dan Tata Ruang bertanya: Tuhan kan menciptakan bumi satu kali, kok kita pajaki setiap tahun?

Penulis melihat Pajak sebagai:

PBB-BPHTB adalah bentuk pertanggungan jawab kita sebagai pemilik Republik ini

PBB-BPHTB adalah penjabaran dari Gotong Royong dan Berkeadilan

PBB-BPHTB adalah salah satu cara untuk membantu yang “kurang” dari kita agar suatu saat mereka, setidaknya anak cucu mereka, dapat “hidup cukup” seperti kita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun