Mohon tunggu...
Robert Parlaungan Siregar
Robert Parlaungan Siregar Mohon Tunggu... lainnya -

Sekarang Pemerhati Indonesia Kekinian.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pak Aang Jual Pohon Rambutannya(yang Terakhir) sebagai Kayu

9 Agustus 2015   21:37 Diperbarui: 9 Agustus 2015   21:56 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya berkenalan dengan Pak Aang, beberapa tahun lalu, pada saat gencarnya Anyer berkembang menjadi Wisata Pantai. Pak Aang lahir dan besar di Anyer. Pak Aang berjualan buah-buahan dipantai Hotel saya menginap.
Saya mengamati buah-buahan yang dijual penduduk sekitar Hotel, semakin berkurang. Pak Aang menerangkan bahwa pohon buah-buahan di kampung semakin berkurang, karena tanah mereka sebagian besar dijual, diborong Orang Penggedean( istilah yang dipakai Pak Aang ) dari Jakarta.
Dari bahasa tubuhnya saya mencium kesusahan, kebingungan dan kegalauan Pak Aang menghadapi Anyer yang semakin gemerlapan. Kebutuhan hidup Pak Aang sekeluarga semakin meningkat. Anak-anaknya harus berakhir pekan. Paling kurang makan ayam Kentuki( tiruan).

Tanah Pak Aang sebagian besar dijual
Pak Aang bercerita bahwa sebagian besar tanahnya sudah dijual, sehingga luas tanahnya tersisa 500 meter persegi. Tiba-tiba Pak Aang mendapatkan uang banyak. Mimpi pun belum pernah, bahwa akan memiliki uang sebanyak itu. Uang sekian banyak disimpan dibawah bantal, mengalir keluar dengan kecepatan dengan sangat tinggi, sangat deras. Belum lagi penghasilan dari pohon buah hilang dengan dijualnya sebagian besar tanah Pak Aang.

Anak Laki-laki keluar rumah dengan membawa pintu
Anak laki-lakinya mulai menginjak dewasa, menuntut motor. Anak Laki-laki dikampungharus punya motor, harus dan harus. Setiap minta dibelikan motor, dijawab sang Ayah bahwa keuangan mereka tidak mencukupi. Dengan marah, si Anak Laki-laki keluar rumah, pintu terbawa. Begitulah kemarahan Anak Laki-lakinya.
Anak Perempuannya mulai mengenal salon. Menurut pak Aang Anak Perempuan lebih mudah diberi pengertian.

Pohon rambutan dijual sebagai kayu
Di halaman rumahnya hanya 1 pohon besar tersisa, yaitu Pohon Rambutan. Pada waktu musim rambutan, penghasilan tambahan dari menjual buah rambutan, lumayan membantu kebutuhan hidupnya sekeluarga.
Sang Istri juga mulai merasa terhimpit oleh tekanan hidup gaya “setengah kota”. Suami Istri semakin sering bertengkar. Sang Istri menuntut agar Pohon Rambutan mereka dijual kepada tetangga mereka, seorang Pembeli Kayu. Dikampung, kayu dari pohon rambutan berharga.
Suatu hari sesudah mengalami beberapa pertengkaran, entah kebetulan si Pembeli Kayu datang dengan membawa Tunai Rp 2 juta. Pak Aang: saya mata gelap, abis uang Rp 2 juta di kewer-kewer depan saya.
Pohon Rambutan terakhir menjadi Kayu

Warga menentukan apa mereka bersedia menerima perubahan
Untuk mempersiapkan Pak Aang menghadapi hidup yang serba asing ini, sebagai langkah pertama Pemda berkewajiban menanyakan apakah Warga setuju jika daerah mereka diubah menjadi Daerah Wisata. Sayangnya di Indonesia warga harus tunduk kepada apa saja keputusan/keinginan Pemimpin/Pemerintah. Kita ingat Petani Rembang, Jateng menolak pendirian pabrik semen di kampung mereka, karena mereka yakin tanah pertanian mereka akan digusur.
Warga dipersiapkan
Jika Warga setuju, bukan berarti Daerah Wisata dapat dibangun sekehendak Pemerintah Daerah dan para Investor. Warga berhak ikut menentukan bahwa mereka misalnya menolak Warung Remang-remang, karena kehidupan Warung Remang-remang tidak sesuai dengan norma mereka.
Warga perlu dibimbing teknik bernegosiasi. ikut menentukan “jatah” bagi Warga untuk posisi-posisi tertentu. Persaingan bebas, maka Warga hanya berdiri diluar, menonton “Pendatang” menduduki semua jabatan yang ditawarkan. Persaingan bebas adalah persaingan tidak seimbang.
Karena berkurangnya hijau di kampung mereka, Warga perlu dibimbing bagaimana mereka menegosiasikan Pembangunan Lapang bermain.
Bagi warga yang berminat, ditawarkan “pendidikan kejuruan” khusus memenuhi kebutuhan Daerah Wisata. Tidak harus berbentuk sebuah SMK.
Warga perlu dipersiapkan dan dibimbing cara mengatur Uang mereka. Dengan menjual tanah mereka, mereka tiba-tiba menjadi ‘Kaya Raya Dadakan”. Menjalani hidup sebagai seorang “ Kaya Raya Dadakan” tidaklah mudah.
Masih banyak pendidikan yang dibutuhkan Warga mengadapi hidup baru ini. Hidup baru yang akan menentukan nasib mereka, nasib anak-cucu mereka.

Siapa berpesta pora?
Yang paling menikmati pembangunan daerah wisata ini adalah para Calo Tanah/Broker. Mendapat komisi kiri kanan. Kemudian pejabat Pemda mendapat rejeki dari pembuatan surat-surat untuk jual beli tanah, penerbitan IMB dan Izin Usaha. Kepala daerah juga memperoleh insentif dari pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah. Maka berlomba-lomba membujuk Warga menjual tanah mereka. Berlomba-lomba membangun.

Kepala Daerah dan Pemerintah mendapat acungan jempol: Pertumbuhan ekonomi diatas 7%, terbaik di Asia
Bukankah itu yang dikejar bangsa ini? Pertumbuhan Ekonomi, Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Ekonomi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun