Mohon tunggu...
Robert Parlaungan Siregar
Robert Parlaungan Siregar Mohon Tunggu... lainnya -

Sekarang Pemerhati Indonesia Kekinian.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ayo Muliakan Petani Indonesia

1 Oktober 2014   10:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:50 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ribuan petani kehilangan mata pencaharian, bukanlahlah berita:

500 hektar padi di G.... puso kekeringan

Yang bereaksi hanya Dinas Pertanian setempat. Itupun hanya membela diri, membuktikan target produksi masih tercapai.

Dinas Pertanian tetap optimistis target produksi tahun 2014 bisa terealisasi. Memang target 2014 lebih rendah dari target 2013. Memang ada puso tetapi tidak seberapa.

Target 2014 lebih rendah dari 2013 memberikan kesan kepada kita bahwa kekeringan di desa diatas adalah hal biasa, hal lumrah. Penurunan target juga berarti kekeringan semakin memburuk.

Kementan tidak menunjukkan apa/bagaimana tindakan mereka menyelesaikan/membantu petani kita yang kehilangan mata pencaharian.

Jika penyebab kekeringan adalah sumber air yang semakin berkurang, maka kewajiban Kementan bersama Pemda setempat mencari penyebabnya.

Jika penyebab kekeringan adalah rusaknya saluran irigasi dan/atau hulu sungai maka Kementan dan Pemda setempat harus menanganinya bersama departemen terkait seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Menteri Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Kekeringan tidak ganggu produksi

Meteri Pertanian menilai kekeringan yang melanda beberapa daerah di Indonesia tidak terlalu brerpengaruh terhadap produksi padi.

Menurutnya persentase kekeringan dengan puso sangat jomplang sehingga produksi padi masih dalam kondisi aman.

Selama target produksi masih tercapai maka Mentan ok-ok saja. Jika target produksi tidak tercapai maka impor

Hidup berjalan seperti biasa

Pemerintah habis-habis membantu petani sawit di permukiman Transmigrasi Kumai.

Mendengar listrik menyala hanya selama 4,5 jam maka Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengunjungi Kumai dengan diantaranya membawa bibit sawit dan peralatan lainnya seperti “solar home system”, 12 unit material rumah, gerobak motor bengkel, gerobak motor hasil panen, mesin pembuat kompos.

Listrik harus tersedia dan harus kita siapkan listrik 24 jam

Mengapa kita tidak menyikapi penderitaan petani seperti sikap Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi?

Petani/peternak adalah penyedia pangan, mengapa berada di kasta terendah?

Pangan untuk bangsa Indonesia masih dianggap komoditas, dapat diimpor kapan saja. Malahan sebagian besar bangsa Indonesia menyikapi Carrefour, Giant dan tok-toko disekitar mereka sebagai penyedia pangan bukan penyalur.

Indonesia boleh dikatakan belum pernah kelaparan. Negara Barat juga RRC yang dalam sejarah mereka berkali-kali mengalami kelaparan, mengerti benar pentingnya kedaulatan pangan.

Program Kementan masih terbatas pada slogan swasembada, mandiri dan kedaulatan pangan, belum pada menaikkan taraf hidup petani kita.

Pemerintah perlu membuat program terpadu meningkatkan taraf hidup Petani kita

Subsidi terhadap petani dianggap persaingan tidak sehat, selalu mendapat protes. Dalam kenyataan negara maju mensubsidi petani mereka dalam skala yang sangat besar.

Kita perlu meniru perhatian dan sikap Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam menangani petani di daerah transmigran. Mentan tidak mampu terbang ke setiap lokasi, setiap kali ada masalah dihadapi petani, tetapi Pemerintah perlu secara terpadu habis-habis mendukung petani kita, meningkatkan taraf hidup petani kita, memuliakan petani kita.

Jika taraf hidup petani tidak ditingkatkan sehingga setara mereka yang bekerja di kota-kota besar, maka petani kita meninggalkan profesi mereka sebagai petani dan pertanian semakin terbengkalai.

Pertanian terbengkali berarti: Swasembada pangan, Kemandirian pangan apalagi Kedaulatan pangan hanyalah jargon untuk kaum politisi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun