Hei, mengapa kalian menangis.
Mustinya kalian bersuka, hari ini puncak bahagiaku.
Satu jam lagi, aku akan berikrar dalam pernikahan suci.
Lihatlah, betapa anggunnya tulang rusukku yang lama hilang.
Sudahlah, jangan kalian buramkan ceria yang membungkus hari ini.
Karena aku akan ditahbiskan oleh Pendeta, sebagai kepala rumah tangga.
Tolong, Ikhlaskan aku dengan deretan doa, bukannya sesal menguasai hati.
Oh, aku tahu. Kalian masih tak rela jika aku berbagi suka-duka dengannya.
Lalu, apa salahnya. dia itu manusia biasa, diapun sama seperti kita.
Oh, mungkin Kalian belum bisa terima, jika ada pelacur di keluarga kita..
Ya, Tuhan. Kalian masih belum dapat membedakan, mana surgadan neraka.
Pilihankumemang pelacur, tapi apakah kita berhak untuk menghakimi dia.
Ayolah, jangan lagi kalian kotori kedalaman jiwa dengan sumpah serapah.
Dengar,,dengarkanlah, betapa indahnya lagu pengiring saat nanti kami berjanji.
resapilah syairnya, biar mata hati kalian terbuka, kalau Tuhan bukanlah Pembenci.
Berkatilah kami dengan tulusnya senyum, jangan restui kami dengan amarah.
Sudahlah. Jangan terus menghukum dia dengan nada sumbang diluar sana.
Percayalah, kalaucintaku ini mampu merubahnya, menjadi berharga di mata dunia.
Aku menyayanginyadengan sepenuh hati, dan mencintainya setulus ajaran KASIH.
Bukankah KASIH itu tidak menghitung pelanggaran, dan juga mau mengampuni.
Sadarlah, kalau kita sebenarnya tidak berbeda dengan wanita yang kucinta.
Kita juga sering melacurkan diri, menggadai Iman kita kepada kuasa dan harta
Lalu, apa bedanya kita dengan dirinya, toh kita semua hanyalah umat berdosa.
Manusia yang pandai menggambar surga, tanpa mau mengasihi antara sesama.
Menjelang PASKAH di ujung Aspal Komplek Pelni.
April 2012,,,,Roberth lhocare Masihin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H