Mohon tunggu...
Roberth Selalu Ada Masihin
Roberth Selalu Ada Masihin Mohon Tunggu... wiraswasta -

hidup hanya sekali, dan kita semua tengah berjalan menuju mati..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Angka 3 untuk “Tiga“

16 April 2012   06:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:33 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga bulan lalu aku berkenalan dengannya. Tiga adalah nama anak itu. Umurnya baru tiga belas tahun dan tinggal di perkampungan kumuh, tak jauh dari Komplek rumahku.

“ khan, aku ini anak ke 3 dari 5 bersaudara,, “ jawabnya enteng sambil cengar-cengir, ketika kutanya mengapa ia lebih senang dipanggil dengan sebutan Tiga.

Entah mengapa sejak mengenal sosoknya, aku seperti masuk ke dalam dunia baru. Sebuah dunia yang sebelumnya tidak pernah sekalipun aku pikirkan. Kepolosan, ketabahan dan kerasnya hidup yang dijalani oleh kawan baruku itu, telah merubah cara pandangku terhadap kehidupan ini. Harus kuakui, bahwasanya Tiga telah berhasil merubah tiga sifat buruk yang selama ini lekat menempel dalam kepribadiaanku.

Sebelum mengenal dirinya, aku termasuk sosok yang senang berfoya-foya menghamburkan uang kedua orang tuaku. Selain itu aku juga angkuh dan suka menghina orang yang berasal dari ekonomi lemah. Ketiga sifat jelekku itu, tidak terlepas dari latar belakang keluargaku, yang termasuk dalam kategori ekonomi atas.

“ Kaka sih enak,,punya gudang uang, makanya bisa santai-santai. “ ucapnya suatu ketika, saat kuajak bermain dirumahku.

Tiga hanya sempat bersekolah hingga kelas 3 SD saja, sebab orang tuanya tak memiliki dana lebih untuk menyekolahkan anak-anaknya. nasibnya lebih sedikit beruntung bila dibandingkan dengan kedua kakaknya, sebab mereka hanya sempat memakan bangku sekolah hingga kelas dua SD saja. Kemiskinan yang menggauli kehidupan keluarganya, membuat tiga dan kedua kakaknya mau tak mau Tiga harus rela memutuskan mimpi mereka untuk meraih cita-cita. Sejak saat itu, ketiganya ikut membantu orang tua mereka, dengan menjadi pemulung barang rongsokan. Meski telah putus sekolah dan hanya menjadi seorang pemulung, Tiga sendiri masih memiliki mimpi untuk bisa menyekolahkan kedua adik-adiknya yang masih kecil.

“ jaya sekarang berumur 4 tahun, sedangkan tahun depan seharusnya Amir masuk kelas 1 SD “

“ kalau kamu mau,,aku bisa kok membantu membiayai Amir,,”

“ ah, jangan Kak,,jadi ngerepotin aja,,,lagi pula, aku dan kedua kakakku dari jauh-jauh hari telah menabung buat biaya sekolah Amir, kok,,ya, mudah-mudahan saja, pada saatnya nanti isi 3 calengan dirumah kami, bisa menyekolahkan Amir, “ ucapnya.

Sudah Tiga minggu ini, Tiga sangat rajin menemuiku untuk sekedar menceritakan permasalahan yang tengah melanda keluarganya. Dari ceritanya, aku mengetahui betul, jika anak itu takkan mampu memikul bebannya seorang diri. Tiga masalah rumit, tengah dihadapinya. Saat ini Bapaknya tengah sakit keras sedangkan pemukiman kumuh yang mereka diami akan segera digusur, sebab ditempat itu akan dibangun sebuah Mall. Sementara itu, karena tak tahan lagi dengan kemiskinan yang melanda kehidupan mereka. Ibunya memilih untuk meninggalkan mereka dan hidup bersama juragan angkot.

“ kakak sudah mau mendengarkan ceritaku saja, itu sudah banyak membantu, kak,,” begitulah, jawaban yang aku dapatkan, disaat setiap kali aku menawarkan bantuan kepada dirinya.

Sudah tiga hari ini, aku tak bertemu dengannya. Meski sudah berusaha untuk mencarinya, namun sepertinya Tiga hilang ditelan bumi. Terakhir kali ia menumpahkan keluh kesahnya kepadaku, aku dapat membaca jelas kekecewaan dan putus asa bersemayam pada dirinya. Mengingat itu semua membuat diriku terserang oleh kekuatiran.

Pagi tadi, aku sengaja mencari Tiga dirumahnya, namun menurut kedua adiknya, kakak ketiga mereka itu, memang sudah sejak tiga hari lalu, belum pulang ke rumah. Karena kuatir dengan keadaannya, malam ini akupun memutuskan untuk kembali mencari dirinya. Mobil sengaja kuparkir didekat halte, dimana menjadi tempat pertama kalinya aku berkenalan dengan dirinya. rasa lelah dan haus yang menyerang membuat aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di halte tersebut. Setelah membeli sebungkus rokok dan minuman ringan, diwarung kecil yang terletak tak jauh dari halte, sambil melepas lelah mataku tetap sibuk memperhatikan keadaan disekitarku, siapa tahu saja makhluk yang kucari melintas ditempat itu.

Suasana disekitar halte mulai sepi, hanya beberapa pengendar yang melintas. Kulirik jam tanganku, rupanya 13 menit lagi akan memasuki pukul 3 dini hari, dan itu berarti sudah 3 jam pula, aku menyusuri jalanan Jakarta untuk mencari Tiga. Namun sahabat kecilku itu, tak jua terlihat batang hidungnya. Padahal semua jalur yang biasa ia lalui untuk mencari barang-barang bekas, malam ini telah aku susuri.

“ ga,,kamu kemana, sih,,,” ucapku setengah putus asa, sambil melangkah menuju ke tempat mobilku terparkir. Namun baru saja tanganku hendak bergerak untuk membuka pintu mobil, tiba-tiba saja suara teriakan terdengar dari sebuah gang sempit disebelah jalan.

berhenti,,jangan lari,,”

“ Tiga,,” ucapku tertahan, saat mengenali bocah yang berlari keluar dari dalam gang tersebut.

“ berhenti atau kami tembak “ teriak beberapa orang yang mengejar dirinya

Namun seolah tak memperdulikan teriakan dari orang-orang yang mengejarnya, tiga terus berlari. Takut sesuatu terjadi pada dirinya, aku memutuskan untuk ikut mengejar tiga, Tetapi bunyi peluru yang ditembakkan ke udara, membatalkan niatanku itu.

“ tiga,,berhenti,,berhenti, tiga “ teriakku. Namun tiga terus berlari

“ DOR,,DOR,,DOR,,,BRUK,,,CIIIITTTT..!!! “

TIGA “…jeritku keras, sambil mengejar kearah tubuh Tiga tergeletak.

“ TIGA,,BANGUN TIGA,,BANGUUUUN “ ucapku sambil menangisi tubuh tiga yang berlumuran darah. Tiga tembakan peringatan dari polisi yang mengejarnya, membuat anak itu berlari semakin kencang, hingga saat ia tiba disebuah pertigaan jalan, ia tak lagi memperhatikan sebuah Truk yang melaju kencang dan langsung menghantam tubuhnya. Saat itu, Tepat jam 3 pagi. Sebelum menutup mata untuk selama-lamanya, Tiga masih sempat menarik nafas terakhirnya sebanya k 3 kali.

“ TIIIGAAAAAAAA…!!!! “ Teriakku sambil memeluk tubuh Tiga yang tak lagi bernyawa.

Sudah tiga jam lamanya semenjak para pengantar meninggalkan pekuburan, aku masih memaku dihadapan kubur tiga.

“ gue gak pernah nyalahin elo, karena tiga kilo gram ganja yang ditemukan di dalam tas yang lo bawa. Sebaliknya, gue malah merasa menyesal banget, sebab gak sempat memberikan baju ini, buat elo.. “ ucapku parau, sambil meletakkan kostum bola bernomor punggung Tiga, dan diatasnya tertulis nama paolo Maldini, pemain bola Italia yang diidolakan oleh Tri yang lebih senang kupanggil dengan sebutan Tiga.

Roberth lhocare Masihin

April 2012, di Ujung aspal Komplek Pelni

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun