Mohon tunggu...
Robert Edy Sudarwan
Robert Edy Sudarwan Mohon Tunggu... -

Buruh tinggal di Jakarta, dapat dihubungi di robert.sudarwan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradoks Implementasi Pendidikan

20 Januari 2015   05:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:47 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh: Robert Edy Sudarwan

HARAPAN masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang baik atau minimal terjangkau masih bagaikan jauh panggang dari api.  Tingginya biaya pendidikan untuk bisa masuk ke perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri, menjadikan orangtua yang memiliki penghasilan pas-pasan terpaksa harus mengurungkan niat untuk menyekolahkan anaknya.

Menjadikan pendidikan sebagai bagian dari variabel di dalam pembangunan bangsa ini menjadi sesuatu hal yang mutlak.  Tanpa adanya pendidikan maka tidak ada proses belajar. Ketika proses belajar tidak berjalan, maka tidak akan kita dapati harmoni bangsa yang cantik di dalam mengemban amanat kemerdekaan.

Salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.  Ini adalah bukti bahwa pemerintah menjadikan isu pendidikan sebagai prioritas pembangunan dan menjadikan pendidikan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia.

Paulo Freire dalam bukunya “Kritik Dunia Pendidikan”, mengatakan bahwa pendidikan adalah proses mencerdaskan dan memerdekakan, bukan proses indoktrinasi dalam melanggengkan sebuah kekuasaan.

Atas dasar inilah institusi pendidikan mempunyai tugas yang teramat besar, yakni “mencerdaskan para peserta didik”.  Hal ini tentu tidak dapat dipisahkan dari peran dan tanggung jawab pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang telah diamanatkan oleh konstitusi (UUD 1945), dengan terlibat secara aktif dalam pembiayaan sektor pendidikan.

Peningkatan kualitas dalam prosesnnya menjadi bagian terpenting di dalam perjalananya. Ketika di dalam proses pendidikan tidak mendapatkan perhatian yang maksimal, maka out put yang muncul di dalam proses pendidikan tidak akan mampu merealisasikan tujuan dan cita-cita yang sudah ditentukan.  Hal ini harus menjadi satu cambuk buat kita agar bisa bersama-sama memberikan solusi terbaik untuk pendidikan.

Paradoks Implementasi Pendidikan

Diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Walau UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 menggariskan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”

Kata-kata  “iman” dan “taqwa” menunjukkan bahwa UU tersebut menyatakan bagian ke-universalitasan UU yang melibatkan unsur agama sebagai domainnya.  Namun, ternyata ini belum tampak dalam implementasinya.

Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu).

Hal ini semakin terbukti dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.  Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian  religius sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.

Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama.  Sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.  Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (IPTEK) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.  Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.

Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.

Dengan demikian hal ini tidak akan mampu mewujudkan cita-cita perjuangan Nasional.  Yang pada akhirnya peserta didik tidak memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Kekacaunya kurikulum ini berasal dari asas yang sekular, yang kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan nilai Ketuhanan dan pembentukan kepribadian religius.

Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang pandai yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya.  Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan karakteristik Ilahiyah. Banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja buta agama dan rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqofah Ilahiyah dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.

Sehingga pendidikan sekular bisa membuat orang pandai, tapi gagal melahirkan manusia berintegritas dan berkepribadian. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moralnya. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular.

Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Agama memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan.

Maka, kunci dari perbaikan negeri ini tidak lain adalah bagaiman elemen pendidikan mampu mewarnai segala sisi elemen yang ada untuk tetap berpijak pada satu tujuan.  Dengan demikian untuk membawa kepada sebuah perubahan yang baik pada Indonesia yang unik, tidak lain adalah dengan mengilfiltrasi segala elemen yang ada. Muaranya terletak pada penyempurnaan pendidikan yang mencakup aspek intelektual, emosional dan spiritual.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun