[caption id="attachment_317421" align="aligncenter" width="448" caption="Pemandu wisata mengutip kalimat Pemimpin besar China, Mao Tse-tung (1893-1976) mengatakan, "Siapa yang belum menginjak Tembok Besar belum layak disebut pahlawan." Foto ini membuktikan, saya sudah layak disebut pahlawan, he he!"][/caption] Saya nyaris menyerah. Sengatan dingin membuat saya berpikir, apakah perjalanan ini akan diteruskan? Saya telah mendapat informasi bahwa Beijing pada akhir Desember ini minus sepuluh derajat Celsius. Sewaktu-waktu bisa mencapai minus lima belas, bahkan minus dua puluh. Angin bertiup kencang. Mata memerah dan berair. Kuping terasa sakit. Hidung meler terus. Jari-jari kaki dan tangan seperti mati rasa. Saya takut frostbite (rasa sakit oleh dingin yang membuat jari-jari tak berfungsi lagi). Setiap melangkah terasa nyeri. Saya menggigil di balik enam lapis pelindung tubuh. Pada pos pertama, teman-teman memutuskan untuk turun. Kembali ke bus yang siap memasang AC penghangat. Ya, bernapas saja rasanya tidak nyaman. Saya pikir, oksigen di udara terbuka berkurang. Sejenak saya ragu, karena kuatir mati konyol. Bukankah di media massa sering tertulis, sekian orang tewas karena diserang cuaca dingin? Namun, pikiran yang menantang muncul lagi: kalau bukan sekarang kapan lagi? Bukan perkara mudah untuk berada di negeri tua ini. Apalagi saya ingin meraih sertifikat beraksara Mandarin bahwa saya pernah menginjakkan kaki di tembok terkenal sejagad. Menurut informasi, itu bisa diperoleh di pos beratap merah di puncak sana yang berarti saya harus melewati tiga pos lagi yang jaraknya tak kurang dari 500 meter dari tempat kami berlindung dari terpaan angin yang membawa udara sedingin es. Namun, mampukah saya? Kata-kata terkenal dari pemimpin besar China, Mao Tse-tung (1893-1976) yang disampaikan pemandu wisata lokal kembali terngiang di benak: “Siapa yang belum menginjak Tembok Besar belum layak disebut pahlawan”. Di dalam buku wisata yang saya beli di sekitar tembok raksasa itu, kata-kata itu tertulis: “He who does not reach the Great Wall is not a true man”. Tentu saja, kata-kata itu disampaikan dalam konteks China. Namun, apapun maksudnya, kata-kata itu sungguh membangkitkan semangat saya. Kata pepatah Tiongkok kuno, “Perjalanan 10.000 li (5.000 km) dimulai dari langkah pertama”. Saya pun membajakan tekad. Ya, selangkah demi selangkah, sebatas kemampuan, tidak perlu memaksakan diri, saya pasti sampai, pikir saya. Lalu, saya mulai mendaki anak-anak tangga bersejarah ribuan tahun silam itu. Beberapa meter mendaki, berhenti. Dan berdiam diri. Saya selalu dihadapkan pada keputusan sulit: oh, masih jauh lagi, teruskan atau mundur saja? Mampukah saya? Sulit berpikir rasional, saya hanya mengikuti suara hati. Dan ketika napas tak lagi tersengal-sengal, saya mulai lagi mendaki. Berhenti. Mendaki lagi…. Semakin mendekati pos beratap merah, jalan semakin menyempit dan terjal. Padahal saat cuaca baik saja (musim semi atau gugur) tidak banyak orang yang berhasil mencapai pos beratap merah itu. Apalagi pada saat musim dingin yang membekukan sungai dan danau…. Oh, saya berhasil juga mencapai pos beratap merah itu. Saya merasa lega. Banyak souvenir khas Tiongkok dijual di sana. Saya tertarik, tapi tidak membeli apapun karena menurut pemandu wisata, harga-harga barang di sekitar tembok raksasa jauh lebih mahal. Kemudian, saya tanyakan sertifikat itu kepada beberapa penjaja barang, ternyata mereka tidak paham bahasa Inggris. Mereka menyambut saya dengan Mandarin. Tentu saja, saya pun menggeleng tanda tak paham. “Sertifikat! Sertifikat…” ujar saya, dan mencoba dengan bahasa isyarat berkali-kali. Akhirnya, mereka mengerti. Mereka pun mengangguk-angguk senang. Seseorang meminta uang sebesar 40 yuan (sekitar Rp 60.000) dengan mengatakan, “Poti, poti…” dalam bahasa Inggris yang tentu saja maksudnya, “Forty” (40). Kemudian, saya menuliskan nama lengkap di kertas yang disodorkan. Lalu, dengan terlatih seseorang mengukir nama saya di atas lempengen logam di samping kata-kata yang sudah tercetak dalam aksara Mandarin dan Inggris: “I HAVE CLIMBED THE GREAT WALL” (Saya telah mendaki Tembok Besar). Wow! Beban yang memberati fisik dan mental lenyap seketika. Apalagi ketika teman-teman menyambut saya dengan tepuk tangan setiba di bawah. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan! The Great Wall atau disebut dalam bahasa Indonesia, Tembok Tiongkok, dibangun setelah Kaisar China pertama, Qin Shi Huang (Dinasti Qin) berhasil mempersatukan China pada 221 SM. Namun, kemudian ditemukan bukti-bukti bahwa ternyata tembok ini sudah dibangun sebelumnya meski tidak sepanjang dan semegah yang dibangun oleh kaisar Qin. Tujuan pembangunan tembok adalah sebagai benteng untuk menahan serbuan dari musuh-musuh yang datang dari utara. Kemudian, pada masa Dinasti Ming (1368-1644), pembangunan tembok pun dilanjutkan lebih panjang lagi. Sejarah mencatat, Tembok Tiongkok yang saat ini dikunjungi jutaan orang setiap tahun dibangun pada Dinasti Ming, khususnya dibawah kepemimpinan Kaisar Zu Dhi (1360-1424). Banyak sekali korban berjatuhan dalam melaksanakan mega proyek ini. Memang tidak ada angka yang akurat, tapi sering disebutkan mencapai sekitar 2-3 juta orang tewas. Dalam bahasa Mandarin, tembok ini disebut “Wan Li Chang Cheng” yang berarti “Tembok Panjang Sepuluh Ribu Li” (1 Li = 1/2 Km). Tembok ini terbentang melintasi 9 propinsi, mulai dari propinsi Liaoning di timur sampai ke propinsi Gansu di barat. Beberapa buku menyebut, panjang tembok lebih 5.000 km. Ada juga yang menyatakan, lebih 6.000 km. Keterangan ini membuat kita menjadi bingung. Lalu, mana yang benar? Perlu diketahui, Tembok Tiongkok ternyata ada yang bercabang-cabang. Adapun total panjang tembok (jika digabungkan dengan cabang-cabangnya), yang diumumkan pada 18 April 2009, setelah menggunakan peralatan teknologi canggih adalah 8.858,8 km. Bisa kita bandingkan, panjang negeri kita mulai dari Sabang (Aceh) ke Merauke (Papua) hanya sekitar 5.000 km. Jadi, betapa luar biasa panjang Tembok Tiongkok ini. Bahkan dalam buku Ripley’s Believe It or Not ditulis “Tembok Tiongkok merupakan satu-satunya karya manusia yang bisa dilihat dari bulan”. Banyak orang percaya, terlebih pernyataan ini sering disampaikan pula oleh pemandu wisata dari China sebagai rasa bangga atas peradaban mereka. Namun, banyak pula pendapat yang menyatakan bahwa mustahil Tembok Tiongkok bisa dilihat dengan mata telanjang dari ruang angkasa. Bahkan, menurut astronot China sendiri, Yang Liwei, pada Oktober 2003, sewaktu dia berada di ruang angkasa, dia tidak dapat melihat tembok itu. Mengingat betapa panjang tembok ini yang tampak seperti naga raksasa yang melintasi desa-desa, kota-kota, pegunungan, dan gurun pasir yang luas, tentu saja mustahil menjalani seluruhnya. Adalah William Lindesay asal Inggris yang berusaha melakukan petualangan gila itu, yakni menjalani Tembok Tiongkok dari barat sampai ke timur. Dalam 20 tahun terakhir, dia sudah menghabiskan waktu selama 1.300 hari di Tembok Tiongkok. Dia sudah berjalan kaki dan berlari sejauh 2.470 km yang menghabiskan waktu selama 78 hari. Pernah ditangkap sembilan kali oleh penjaga keamanan China. Sewaktu dideportasi pada 1987, William bertemu Wu Qi, yang setahun kemudian dinikahinya. Mereka sekarang tinggal di Beijing dengan kedua puteranya, Jimmy dan Tommy. Hasil petualangannya itu dituliskannya dalam buku Alone on the Great Wall (Sendiri di Tembok Tiongkok). Dia sangat terobsesi untuk menjaga kelestarian tembok bersejarah mengingat di beberapa tempat banyak yang sudah rusak. Tembok Tiongkok adalah salah satu hasil peradaban kuno yang menunjukkan kepada dunia betapa hebatnya China. Selama berada di sana, tak henti-hentinya kekaguman disampaikan oleh pengunjung mancanegara yang memadati negeri itu. Di China, kita melihat hal-hal mustahil bagi kebanyakan orang, ternyata bisa terjadi. Dalam dunia modern, China juga berhasil melesat melampaui negara-negara maju. Setelah sukses melaksanakan Olimpiade Beijing pada 2008 dengan menempati posisi terhormat, China juga tercatat sebagai negara yang sukses dalam perekonomian sementara negara-negara lain terpuruk. Betapa kontras dan ironis dengan negara kita yang katanya sudah melakukan reformasi, tapi senantiasa disibukkan dengan masalah korupsi yang terjadi di hampir seluruh penjuru negeri. Kita sudah pula memasuki era Perjanjian Perdagangan Bebas China-Asean sejak 1 Januari 2010. Alih-alih kreatif dan inovatif, tanpa mengubah mental korup dan sikap bermalas-malasan, bangsa kita akan mudah terlindas dalam persaingan hebat yang menanti di depan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H