[caption id="attachment_318201" align="aligncenter" width="300" caption="Sun Yat-sen (1866-1925) dilantik menjadi presiden sementara China pada 1912 mengakhiri era dinasti yang telah berlangsung selama lebih dua ribu tahun."][/caption] Setelah menempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Shanghai, bis yang saya tumpangi akhirnya memasuki pinggiran Nanjing, ibukota Provinsi Jiangsu.  Nanjing adalah sebuah kota tua yang terletak di barat laut Shanghai yang menyimpan banyak sejarah Tiongkok. Pada zaman Dinasti Ming (1368-1644), Nanjing  adalah ibukota China. Di kota inilah kaisar dan keluarganya dimakamkan. Dan di sini pulalah, dimakamkan pahlawan besar China, Sun Yat-sen (1866-1925). Bis berhenti persis di pinggiran hutan kecil. Begitu kaki menginjak bumi, angin musim gugur pada awal November mulai terasa dingin. Betapa nyaman dan teduh berjalan di antara pepohonan tua rimbun yang daun-daunya mulai menguning. Mengigatkan saya pada  penggalan sajak Robert Frost (1874-1963), penyair Amerika Serikat yang terkenal itu. Dua jalan bercabang di hutan kuning Sayang, aku tak bisa menempuh keduanya Aku pilih jalan yang jarang dilalui orang Itulah yang membedakan segalanya Anak-anak tangga  terbentang mencapai punggung Zhongsan, satu dan empat pengunungan terkenal di selatan Sungai Yangtze yang termashur. Pada zaman Dinasti Qin (221-206 SM), pengunungan dengan ketinggian mencapai 448 m itu bernama Jinling. Konon, awan berwarna ungu sesekali menyelimuti puncaknya, sehingga orang-orang menyebutnya pula pegunungan ungu. Di pegunungan itulah makam Sun Yat-sen berada. Makam indah yang bentuknya menyerupai  lonceng itu dibangun pada 1926 hingga selesai pada 1929. Kalau ingin mencapai makam itu, kita harus mendaki sebanyak 392 anak tangga. Itu berarti kita harus mulai  dari gerbang masuk sejauh 700 m dengan ketinggian 70 m. Cukup membuat nafas ngos-ngosan dan kaki pegal. Namun, saya melihat ribuan pengunjung dengan penuh semangat menaiki anak-anak tangga itu. Ide arsitek terkenal, Lu Yanzhi, yang merancang makam itu memang hebat. Disediakan sepuluh tempat perhentian yang cukup luas di antara ratusan anak tangga. Di setiap perhentian kita dapat memandang keindahan alam pegunungan, tentu saja termasuk pemandangan Nanjing yang tampak di kejauhan. Menambah semangat untuk mendaki lagi. Di situ, kita bisa pula memilih bermacam cenderamata menarik, seperti postcard bergambar Sun Yat-sen, patung kecilnya, buku-buku tentang perjuangan, dan baju-baju Tiongkok. Dengan semangat tinggi akhirnya saya tiba di bangunan bergaya Tiongkok yang terbuat dari granit. Di ruang depan, tampak patung pahlawan besar itu dalam posisi duduk. Wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Berjalan lebih ke dalam membuat banyak orang terpana memandang pusara itu, di atasnya terbaring tenang patung pualam Sun Yat-sen dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tampak teduh. Ribuan pengunjung yang datang setiap hari pastilah terkenang akan keberanian tokoh itu: dia berjuang gigih selama belasan tahun untuk mengakhiri sejarah ribuan tahun dinasti feodal; dia yang punya visi besar, yakni China modern. [caption id="attachment_318210" align="aligncenter" width="550" caption="Makam Sun Yat-sen. Foto: Robert Sinuhaji"]
[/caption] Sun Yat-sen lahir pada 12 November 1866 di Desa Cuiheng,  Xiangshan (sekarang Zhongsan), Provinsi Guangdong. Dia adalah anak petani sederhana dengan nama keluarga Wen. Ketika terjun ke dalam dunia politik, dia menggunakan nama Yat-sen alias Zhongsanqiao. Dari sinilah berasal nama Zhongsan. Sejak remaja dia sudah resah memikirkan masa depan China yang suram karena Dinasti Qing yang korup. Dinasti itu didirikan oleh orang-orang Manchuria yang berkuasa sejak 1644. Pada 1879, Sun Yat-sen berlayar ke Hawaii untuk belajar kedokteran di Tolani College dan Oahu College. Pada 1883, dia kembali ke China. Di negerinya, dia mendalami sejarah dan sastra China. Kemudian, dia  meninggalkan profesinya sebagai dokter yang sangat menguntungkan. Dia terpanggil untuk tugas yang lebih besar, yakni menyembuhkan bangsa China yang sakit. Pada 1894, Sun Yat-sen menyampaikan surat permohonan kepada Li Hong-zhang, pejabat teras Dinasti Qing, untuk mereformasi China secara total. Namun, usulannya untuk pembaharuan itu ditolak. Dia pun secara giat menyalakan semangat orang-orang China perantauan untuk melakukan revolusi. Berulang kali dia memimpin pemberontakan, tapi selalu gagal. Akibatnya, dia pun terpaksa menyingkir ke luar negeri. Namun, Sun Yat-sen tetap optimis dengan masa depan China. Selama di pengasingan dia mempelajari sistem ekonomi dan politik barat sambil merancang sistem yang cocok untuk China. Pada 1894-1895, dia mendirikan Xing Zhong Hui (Society for Revival of China) di Hongkong, Guangzhou, dan Jepang  dengan tiga program, yakni mengenyahkan orang-orang  Manchuria, kebangkitan kembali Cina, dan mendirikan pemerintahan oleh rakyat. Di pengasingan, Sun Yat-sen mendapat kabar bahwa pemberontakan di Wuchang (Provinsi Hubei) pada 10 Oktober 1911 berhasil. Dia pun semakin giat mencari sponsor dan bantuan diplomasi ke berbagai negara. Pada  Desember 1911, dia pulang ke Shanghai. Sementara itu, delegasi dari semua propinsi yang terlibat pemberontakan mengadakan rapat penting di Nanjing. Mereka memutuskan Sun Yat-sen menjadi presiden sementara. Pada 1 Januari 1912, diambil sumpahnya untuk menjadi presiden sementara  Republik China. Dengan demikian berakhirlah Dinasti Qing yang telah  berkuasa selama 268 tahun (1644-1911). Di bawah kepemimipinannya lahir konstitusi dasar sementara China. Sun Yat-sen membuat doktrin Tiga Prinsip Rakyat: Nasionalisme, Demokrasi, dan Mata Pencaharian Rakyat. Dia memiliki visi, yakni China akan menjadi negara indenpenden, demokratis, dan makmur. Namun, karena situasi politik semakin memburuk Sun Yat-sen mengundurkan diri dari jabatan presiden pada April 1912. Dia digantikan Yuan Shi-kai yang telah memaksa parlemen untuk melakukan pemilihan pada 1913. Sejarah China mencatat, Yuan Shi-kai adalah penghianat revolusi. Setelah Yuan Shi-kai mengumumkan pembaharuan monarki China, Sun mendeklarasikan revolusi kedua yang bertujuan untuk menantangnya. Pada 25 Oktober 1915 (dalam usia 49 tahun), Sun Yat-sen menikah dengan Soong Qing-ling di Tokyo. Istrinya adalah kakak kandung Soong May-ling, yakni istri Chiang Kai-sek (1887-1975). [caption id="attachment_318213" align="aligncenter" width="640" caption="Patung Sun Yat-sen berbaring di atas pusaranya. Dilarang memotret di sini. Foto diambil dari brosur pariwisata Nanjing."]
[/caption] Istrinya yang aktif dalam dunia politik, ikut membantu Sun Yat-sen mendirikan Partai Revolusioner China (Kuomintang). Pada 5 Mei 1921, dia dipilih lagi untuk menjabat presiden sementara. Namun, pada  12 Maret 1925 tersiar kabar sedih, pahlawan besar China itu wafat di Beijing karena kanker hati. Untuk mengenang jasa-jasanya pemerintah membangun makam yang indah di pengunungan Zhongsan, Nanjing. Chiang Kai-sek (1887-1975), seorang pengikut setianya, meneruskan kepemimpinannya. Perlu ditambahkan, pada 1949, China jatuh ke tangan orang-orang komunis yang memaksa Chiang Kai-sek yang anti komunis  mengungsi ke Taiwan.  Sun Yat-sen, seorang penganut Kristen, semasa kepemimpinannya dengan tegas menolak komunisme. Dia menganggap ideologi itu tidak mendukung kemajuan bagi umat manusia, sehingga tidak cocok untuk China. Pada tahun itu pula, Republik China berganti nama menjadi Republik Rakyat China. Kita ketahui kedua negara  sering dihangatkan oleh isu pemisahan Taiwan dari China daratan. Namun, kedua negara sangat menghormati jasa-jasa besar Sun Yat-sen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya