Sebagaimana telah saya tuliskan sebelumnya bahwa semua ilmu dan jurus Jokowi sebagai seorang politisi adalah meniru habis-habisan ilmu berpolitik ala Pak Harto. Namun karena bukan intisarinya yang diambil melainkan hanya bentuk terluarnya saja maka strategi Jokowi justru terlihat dengan jelas oleh orang yang memahami intrik-intrik politik Pak Harto.
Salah satu mitos yang cukup terkenal tentang Pak Harto adalah bagaimana dia, melalui opsus yang dipimpin oleh Ali Moertopo melakukan sebuah kudeta merangkak terhadap Soekarno. Kudeta tersebut antara lain dilakukan melalui tekanan-tekanan masyarakat yang digerakan oleh opsus sehingga Soekarno secara pelahan terpaksa menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. Pertama harus disampaikan bahwa isu kudeta merangkak hanya mitos, tetapi bagi sebagian orang mitos itu telah menjadi sesuatu yang sangat nyata dan bisa diduplikasi.
Boleh dipercaya boleh tidak, tetapi melalui pembicaraan dengan seorang petinggi PDIP Tangerang saya memperoleh informasi bahwa dia dan teman-temannya sedang merencanakan sebuah gerakan untuk menaikan Jokowi sebagai pengganti Megawati dan menggeser trah Soekarno di dalam PDIP akan tetapi kelompok mereka hendak menjadikan pilgub DKI sebagai test case sebelum menjalankan rencana yang sudah disusun. Mendengar itu saya berpikir, "wah, sableng si Jokowi belum apa-apa sudah mau makar terhadap pemimpinnya." Namun karena saya sendiri tidak menyukai Megawati maka saya mendukung rencana tersebut. Sejarah mencatat Jokowi menang tipis dari Foke dan terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta. Selanjutnya saya menantikan bagaimana Jokowi akan mendongkel kursi kekuasaan Megawati yang telah bertahan hampir 20 tahun itu.
Ironisnya bagi Megawati adalah sama seperti Soeharto yang dia dongkel setelah melemah karena kematian Ibu Tien, tampak sekali kekuasaan Megawati di PDIP jauh berkurang setelah Taufik Kiemas, sang king maker meninggal dunia. Karena itu saya melihat ada kemungkinan rencana opsus bikinan Jokowi mendongkel Megawati cepat atau lambat akan terlaksana.
Dalam setahun setengah masa pemerintahan Jokowi memang tidak ada yang terjadi, dan sebaliknya Jokowi justru menempel terus pada Megawati seperti tidak mau lepas. Hal ini wajar sebab Jokowi harus melakukan itu bila dia mau ambisinya tercapai untuk mendapat restu sebagai capres PDIP. Selain itu seperti dapat diduga juga bahwa opsus Jokowi menggencet posisi PDIP dari luar dengan pembentukan berbagai posko pencapresan Jokowi yang tidak jelas siapa penggeraknya, juga orang-orang PDIP bergerak membentuk PDIP Pro Jokowi sehingga mengancam perpecahan PDIP bila keinginan mereka tidak dikabulkan Megawati. Ini dia saya pikir, akhirnya langkah pertama mendongkel Megawati sudah dimulai.
Langkah di atas adalah mirip dengan kisah kudeta merangkak Soeharto, tentang bagaimana Soeharto terus berada di sisi Soekarno untuk menerima limpahan kekuasaan sementara opsus Soeharto dari luar mengadakan agitasi menekan posisi Soekarno dari segala penjuru.
Benar saja, sama seperti Soekarno memberikan supersemar, posisi pejabat presiden dan akhirnya presiden kepada Soeharto karena tekanan dari dalam dan luar, Megawati yang sebenarnya masih berhasrat untuk mencalonkan diri sebagai presiden akhirnya takluk pada tekanan dan bersedia menunjuk Jokowi sebagai capres. Ketidaksukaan Megawati terhadap hal ini diperlihatkan dengan tidak menghadiri deklarasi pencapresan Jokowi. Puan Maharani sendiri yang membacakan instruksi Megawati melakukannya dengan wajah cemberut seolah tidak rela.
Sekarang adalah masa paling genting bagi Megawati, sebab bila Jokowi terpilih menjadi presiden maka posisinya akan menjadi lebih kuat untuk memaksa Megawati menyerahkan tampuk kepemimpinan PDIP kepada Jokowi dengan alasan masa trah Soekarno di PDIP sudah selesai, saatnya yang muda yang mengelola partai, dan tidak ada kandidat paling baik selain Jokowi si superman banjir, nabi marhaen, wali songo kesepuluh alias wali Solo, dewa wisnu yang turun ke bumi dan lain sebagainya.
Bila Megawati akhirnya jatuh terjerembab dari kursi kepemimpinannya dalam partai yang dia dirikan, bukankah hal tersebut ironis sebab menjelang senja dia justru bernasib sama seperti Soekarno, terjatuh karena kudeta merangkak. Saat itu terjadi jangan berharap trah Megawati Soekarnoputri yang tersisa seperti Puan Maharani atau Prananda akan bertahan, mereka pasti akan disingkirkan. Begitupula dengan trah Soekarno seperti Guruh yang telah menyatakan Jokowi tidak cocok sebagai presiden, dia pasti akan dibuang.
Mari kita nantikan kudeta merangkak yang sedang berjalan di dalam tubuh PDIP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H