Gejolak issu negatif sedang melanda sendi-sendi kehidupan kita akhir-akhir ini. Bermula dari kasus penistaan agama, yang kebetulan mencuat di momentum Pilkada. Menimbulkan spekulasi dan perdebatan tingkat tinggi, mulai dari para elit politik, aktifis dan organisasi massa, tokoh-tokoh agama, bahkan sampai ke masyarakat biasa. Spekulasi-spekulasi tersebut seolah membentuk suatu "asumsi" penggolongan dari pihak yang berbeda pendapat, dengan ciri dan model serangan issu mereka masing-masing.
Radikal-Sumbu Pendek Vs Liberal-Komunis
Gelombang mobilisasi massa dilakukan dengan dibentuknya sebuah wadah, sebut saja Gerakan Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau lebih biasa disebut GNPF-MUI. Meskipun dari pihak MUI sendiri tidak mengakui bahwa GNPF ini merupakan bagian darinya. Mereka menyuarakan dan mendesak aparatur negara segera menindak tegas penista agama (versi mereka). Gerakan mobilisasi itu dilakukan secara bertahap, mereka melabelinya sebagai Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid jumlahnya. GNPF-MUI ini merupakan gabungan dari berbagai ormas-ormas Islam di berbagai daerah, tak sedikit juga yang mengatasnamakan santri, walaupun dipastikan dari pihak Front Pembela Islam ( FPI ) yang mendominasi.
Berbeda dengan mereka, sebagian orang yang beranggapan lain mengenai kasus tersebut menentang dan menolak segala bentuk mobilisasi massa ataupun yang sejenisnya. Kalangan ini menganggap kasus penistaan ini semu, diada-ada dan sebagai permainan politik karena saat itu sedang berlangsung kontestasi Pilkada. Kalangan ini menyuarakan persatuan dan kebhinekaan, karena memang orang yang dituduh menistakan agama itu adalah keturunan China dan tidak beragama Islam, agama mayoritas di negeri ini. Aksi dan suara-suara mereka dinamakan Kita Indonesia, suatu label yang mengarah pada kebhinekaan, persatuan dan nasionalisme.
Dari sikap kedua "golongan" diatas, seolah ada kebencian emosional yang mendalam diantara mereka. Perang argumen, saling menebarkan fitnah, menyerang karakter tokoh yang pro-kontra tersebut tidak dapat terelakkan lagi. Terlebih kemajuan sistem informasi yang dinamis membuat serangan-serangan itu semakin mencekam. Publik selalu kenyang dengan informasi-informasi yang beredar berisi konten fitnah dan memojokkan tersebut.
Konten-konten negatif tersebut selalu dilancarkan kedua belah pihak. GNPF-MUI dan sejenisnya menyerang "lawan" mereka dengan issu bahwa kaum yang membela penista agama adalah kaum komunis, antek-antek China, pembela kafir, dan orang-orang liberal. Sebaliknya, kalangan yang satu lagi menganggap "lawan" mereka sebagai kalangan yang terlalu terburu-buru dan mudah emosi, kalangan sumbu pendek, dan kaum radikal. Inilah potret yang terjadi, rumah besar Indonesia ini dikhawatirkan akan roboh karena permusuhan ini.
Islam Dalam Pusaran
Dari gambaran diatas menunjukan, seolah citra Islamlah yang paling menentang dan mungkin dalam "asumsi" sumbu pendek dan radikal. Karena memang para pemimpin-pemimpin aksi itu adalah tokoh dan pablik figurenya orang muslim. Memang tidak bisa kita tolak anggapan itu, karena dalam momentum itu memang aksi-aksi mereka diseludupi kalangan Islam transnasional, kalangan Islam yang menginginkan sistem dirubah menjadi khilafah. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa terkadang ada orang yang berlindung dibalik nama Islam, demi tercapainya cita-cita sekelompok golongan. Itulah mengapa Nurcholis Madjid lebih memilih menggunakan istilah "Santrinisasi", bukan "Islamisasi", karena kata Islam itu sendiri besar potensi untuk dipolitisasi.
Kenyataan menunjukan bahwa, ada sebagian kelompok muslim yang kurang setuju terhadap aksi-aksi dan mobilisasi massa tersebut. Langkah-langkah yang terlalu ekslusif itu dirasa kurang tepat, terlebih gonjang-ganjing itu terjadi dimasa Pilkada, syarat akan politisasi. Adalah kalangan Nahdlatul Ulama dan kanca-kancanya yang moderat dalam menyikapi kasus ini. Mereka tidak ingin membuat kegelisahan semakin parah menimpa bangsa ini. Mereka memilih untuk mempercayakan proses hukum yang berjalan kepada pihak yang berwenang. Inklusifitas itu bukan berarti cari aman dengan bersifat netral, akan tetapi mereka lebih ingin merawat agama dan keberagamaan dengan cara-cara yang damai tanpa harus teriak Revolusi, tanpa harus teriak turunkan Presiden Jokowi.
Islampun dalam pusaran, sesama Islam diadu-dombakan. Ironis sekali, perbedaan sikap ini menimbulkan banyak dari kalangan Nahdliyin dihujat, difitnah dipermalukan, tak terkecuali terhadap beberapa tokohnya. Atau bahkan yang lebih ironisnya lagi, dikalangan nahdliyin itupun terjadi banyak spekulasi dan pertentangan. Banyak sesama santri, sesama ustadz ataupun sesama kyai saling timbul rasa benci. Islam seperti diadu domba, masyarakat biasapun kadang tak luput dari ini semua.
Santri dan Tugas Humanisasi