Senyum sesekali merekah di balik pipi yang tak lagi muda itu. Di antara keramaian pasar sore itu, seorang nenek yang tampak masih segar dan bersemangat, berdiri di kerumunan pengunjung pasar. Tatapan ramahnya kepada yang lewat seakan mengajak pengunjung untuk sekedar menyentuh barang dagangannya.
Hari itu pembeli memang sepi, sama seperti kemarin. Entah produk yang dijual kurang menarik, atau memang seonggok periuk dan wajan kecil yang terbuat dari tanah liat, menjadi tampak aneh jika bersanding dengan menu-menu makanan khas berbuka puasa di pasar sore itu. Si nenek berdiri di antara deretan penjual lauk dan seorang pemuda penjual buah kelengkeng yang bersorak-sorai memanggil pembeli. Kemaren seingatku, nenek itu berdiri di lokasi yang lain, di pinggir jalan dekat parkiran.
Sesekali dipandanginya pedagang buah satu macam yang sedang meladeni pembeli. Lalu di tatapnya ke bawah, hasil karya pengerajin tanah liat yang tak kunjung laku. Selang beberapa saat kemudian, si nenek pun mengemasi barang-barang dagangannya dan pergi meninggalkan keramaian itu. Tidak seperti orang kalah yang pulang dengan lesu, ia sempat membalas senyum sapa pedagang di sampingnya dengan kalimat permisi hendak pulang yang ramah. Ia pun berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H