“Bu, tolong tebang tebu-tebunya karena kena ke jemuran kami!”
“Oh, ya!”
Tanpa basa-basi adikku langsung mengiayakan perintah ibu untuk menyuruh tetangga di belakang rumah agar menebang pohon-pohon tebunya yang mengenai jemuran kami. Saranku: jangan ditebang, cukup dipangkas saja daun-daunnya yang mengenai jemuran. Aku selalu ingat seorang nenek yang tegas soal pemeliharaan dan penjagaan pohoh-pohon dan segala jenis tanaman yang tumbuh di sekitar kita. “Siapa lagi yang menjaga pohon-pohon di saat kota semakin gersang? Hanya kita dan pekarangan rumah kita!”, tegas nenek.
Tapi begitulah, aku terlalu lamban mengambil sikap! Terdengar sekali, dua kali, bahkan tiga kali suara tebasan golok. Beberapa pohon tebu telah menemui ajalnya! Aku hanya meratap dalam hati. Seandainya sesaat setelah adikku menyampaikan “perintahnya” kepada tetangga, aku langsung menemui tetangga itu untuk meminta izin memangkas daun tebunya, tentu tebu-tebu itu tidak harus meregang nyawa. Dan rumah mungil oksigen segar terselamatkan. Tapi lagi-lagi, koreksi diri selalu datang terlambat. Aku merasa lebih parah dari keledai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H