Bangau itu terbang rendah dan mendarat di samping kerbau. Segera kawanan bangau yang lain mendekat dan bergabung memunguti makanan di rerumputan. Hujan yang turun semakin mengakrabkan kawanan dua makhluk yang berbeda itu. Begitulah bangau-bangau dan kerbau mencari makan bersama. Saya membayangkan, kalau bangau dan kerbau saja bisa akrab, mengapa kita tidak?
Saya teringat pengalaman-pengalaman akrab bersama orang lain, yang berbeda suku dan agama. Bahkan yang tidak saya kenal. Di satu sore menjelang magrib, saat saya berjalan menuju rumah, tiba-tiba seorang pengendara sepeda motor berhenti di dekat saya. Kami tidak saling kenal, tapi dengan ramah ia menawarkan tumpangan kepada saya. Saya pun menyambut inisiatif baik orang yang tidak saya kenal itu.
Setelah itu, saat mengendarai sepeda motor seorang diri, saya ingat orang baik itu ketika saya melihat orang lain berjalan sendirian. Ingin rasanya membonceng, tapi diri ini lebih sering menuruti hati yang berat dan enggan. Namun sekali, dua kali, saya berhasil mengatasinya. Saya menawarkan tumpangan kepada seorang bapak dan selama di perjalanan kami berbincang hangat. Di lain waktu saya juga melakukannya kepada yang lain. Mereka menyambut baik inisiatif saya. Jika saya mengingat masa kecil, ternyata pengalaman kebaikan bersama orang lain itu pernah saya alami. Jadi ia memiliki latar belakang historis.
Apa yang mau saya katakan adalah, sikap setiap pribadi, terutama saya sendiri, menentukan masa depan masyarakat plural yang rukun. Menjadikan perbedaan sebagai kekuatan masyarakat yang rukun dimulai dari inisiatif dan pengembangan sikap-sikap baik dalam diri kita. Dan alam menyediakan pelajaran yang sederhana untuk kita.
Lama saya merenung, dan kadang terasa menyesakkan dada, mengapa saya enggan menawarkan tumpangan kepada orang lain yang tidak saya kenal. Saya menyalahkan diri sebagai pribadi penakut yang pelit dan menaruh curiga kepada orang lain. Sampai pada suatu saat, keragu-raguan melaksanakan inisiatif baik pada orang lain dapat teratasi lewat sapaan yang saya berikan kepada orang lain. Dari situ inisiatif bergulir menjadi tindakan baik (menawarkan tumpangan), yang kemudian menurut saya itu adalah sesuatu yang wajar/biasa saja.
Meskipun keragu-raguan masih muncul, tapi untuk mengatasinya, diperlukan pengandaian bahwa inisiatif-inisiatif kebaikan kepada yang lain adalah sesuatu yang wajar/biasa-biasa saja dan tidak perlu dianggap sebagai tugas berat yang diakhiri dengan prestasi berupa kepuasan batin. Lalu, mau mengakui segala kelemahan, sifat-sifat buruk dalam diri saat berhadapan dengan perbedaan atau yang lain. Bahkan kehendak untuk mengatasi pun (segala kelemahan itu) tidak diperlukan. Sehingga kelemahan-kelemahan itu menjadi teman hidup yang menginspirasi inisiatif-inisiatif kebaikan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H