Mohon tunggu...
robby simamora
robby simamora Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nurani di Hadapan Korupsi

16 November 2012   14:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:14 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, di tengah ramainya suasana pengadilan, terdengar gelegar tawa seorang jaksa senior yang berpapasan dengan seorang hakim senior pula. Rupanya telah lama mereka akrab.

Kok tampak kurang cantik Ibu pagi ini? Nggak pake bedak ya Bu?”

“Ah, makanya, kau belikan lah aku bedak”, pinta si hakim dengan manja.

Dengan lincah, selembar “uang merah” melompat dari dompet sang jaksa masuk ke kantong si hakim yang memimpin salah-satu pengadilan negeri di Sumbar. Begitulah keakraban mereka yang juga berlanjut ke ruang-ruang persidangan.

Di kantin pengadilan itu, seorang bapak pegawai pengadilan bercerita panjang lebar soal hidup sejahtera dengan berbisnis di dunia hukum. Ia mengaku berhutang ke bank demi anak yang ingin memakai mobil baru ke kampus. Kepada mahasiswa ia berpesan, “Kalian mahasiswa harus membuka cakrawala berpikir kalau ingin sejahtera di dunia hukum!”

Pemandangan itu terjadi di tengah sorak-sorai pemberantasan korupsi yang didorong tidak kenal ampun. Koruptor harus membusuk di penjara dan denda ratusan, bahkan kalau bisa miliaran rupiah, harus dipikul koruptor. Tidak cukup sampai di situ, siksaan yang berat harus ditimpakan kepada koruptor dengan hukuman mati dan menguras habis harta keluarganya. Biar dia jera. Biar yang lain tidak berani macam-macam.

Namun demikian, pola umum penanganan kejahatan dengan pembalasan agar menimbulkan efek jera, ternyata tidak menghabiskan koruptor di negeri ini. Ia malah semakin menjamur. Ada yang mengatakan, KPK kurang gesit, hukuman terlalu ringan, sampai kondisi kerja (birokrasi) yang menyuburkan korupsi. Lalu, dimulailah reformasi birokrasi terutama memperbarui mekanisme pengawasan.

dilema panoptikon

Semenjak kasus Gayus, Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan menerapkan sistem baru pengawasan di Kantor-kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (Indopos/JPNN 18 Mei 2010). Konsepnya meniru ide filsuf klasik Inggris Jeremy Bentham (1791) yaitu model sebuah penjara transparan bernama Panoptikon di abad ke 18 dan awal 19 (Foucault, 2002:183).

Bangunan/sel-sel penjara itu berbentuk lingkaran yang ditengah-tengahnya berdiri sebuah menara pengawas yang puncaknya didiami petugas pengawas. Dari dalam kaca gelap menara itu, pegawas bebas mengawasi para tahanan di setiap selnya yang kaca jendela luar-dalam tembus pandang. Para napi tidak dapat melihat pengawas tapi ia merasa terus diawasi.

Model itu kini dipercanggih dengan dengan kemajuan teknologi seperti yang terdapat di pusat-pusat perbelanjaan, hotel, atau gedung-gedung yang menggunakan CCTV. Saat menjelajahi rak-rak buku di Gramedia, kita takut mencuri sebuah buku karena merasa ada yang mengawasi.

Namun, model pengawasan yang selalu curiga terhadap masyarakat (karena mengibaratkannya sebagai penjahat yang selalu harus diawasi, Wibowo, 2008) itu, bukan tanpa masalah. Di Amerika Serikat, saat gencar-gencarnya mantan presiden Bush berperang melawan terorisme, ia sempat memberlakukan Patriot Act yang membolehkan negara menyadap pembicaraan-pembicaraan warga negara di setiap tempat. Banyak yang memprotes undang-undang yang dianggap represif itu sehingga harus dicabut. Di Malaysia, kata seorang dosen yang mempunyai kerabat di sana, orang bisa saja ditangkap polisi hanya karena bisik-bisik memprotes pemerintah.

Jadi, upaya untuk membuat segala lini kehidupan menjadi transparan, terkontrol/terawasi, ternyata bisa merenggut kebebasan dan kreativitas manusia itu sendiri karena rawan penyelewengan kekuasaan. Ini tampak jelas dengan keluhan-keluhan para pejabat di daerah yang tidak berani mengambil kebijakan karena takut dituduh korupsi oleh aparat hukum yang memang ada (mafia hukum) memanfaatkan para pejabat sebagai ATM berjalan.

Alhasil, pemberantasan korupsi pun berjalan di tempat. Segencar apapun penindakan yang dilakukan, para koruptor menjadi semakin lihai mengelabui jerat yang dipasang. Apalagi jika si pemasang jerat telah terjerat bujuk rayu uang dan nafsu. Apalagi jika tanpa jerat, kantor-kantor seakan berubah menjadi sarang tikus seperti potret salah-satu pengadilan di Sumbar di awal tulisan ini.

Adakah harapan?

Sampai di sini, penulis serasa menjumpai jalan buntu saat berhadapan dengan rumitnya penyakit-penyakit sosial di atas. Namun meskipun demikian, separah apapun kondisi alam birokrasi, kekhasan manusia melalui hati nuraninya tidak bisa takluk di hadapan mesin apapun, termasuk birokrasi. Terbukti, di antara sekian banyak aparat pengadilan yang korup, masih ada pribadi-pribadi yang berperilaku baik, sederhana, dan memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan serta sensitif dengan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Sikap itu dia buktikan lewat putusan-putusannya dan dalam kehidupannya sehari-hari.

Bahkan, di kalangan aparat yang korup pun, masih ada harapan untuk menyalakan lentera nuraninya. Seorang panitera pengganti yang merangkap menjadi bendahara pengadilan yang penulis kisahkan di awal tulisan ini, punya seorang puteri yang memilih jalan hidup lain. Si gadis kesayangan mengambil jurusan pendidikan luar biasa yang sepi peminat. Tidak banyak orang yang mau mengabdikan diri pada pelayanan pendidikan anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental. Tidak ada kekayaan di situ. Apalagi kesejahteraan seperti yang digeluti para pebisnis hukum. Sang bunda yang sempat resah akhirnya merelakan pilihan bijak sang puteri. Puteranya, juga sempat membuat gundah hatinya.

Ia juga harus merelakan putera kesayangannya merantau ribuan mil di pulau nan jauh di sana setelah menamatkan sekolah hukumnya. Sang putera kesayangan meninggalkan segala kenikmatan fasilitas mewahnya dan memilih bergabung dengan para aktivis prodemokrasi di sebuah LSM pemantau pemilu di Jakarta. Pilihan-pilihan hidup tak terduga dari anggota keluarga tercinta yang sempat mengguncang batin sang aparat pengadilan itu, bisa menjadi pengasah nuraninya ketika berhadapan dengan godaan-godaan selama bertugas.

Penulis menimba banyak inspirasi dari kebertahanan nurani ketika berhadapan dengan sekelumit problem hidup, termasuk nurani yang menggugat kenyamanan dan keangkuhan diriku. Akhirnya, penulis sekali lagi tersentak dengan ucapan Russell W Gough (dalam Taryadi, 2012) seorang profesor etika dan filsafat dalam bukunya Character is Destiny: The Value of Personal Ethics in Everyday Life (1998): “I have found who is responsible for our ethical poverty, and it is I.”(Saya telah menemukan siapa yang bertanggungjawab atas kemiskinan moral/etis kita, yaitu saya sendiri).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun