Hampir setiap orang memiliki potensi untuk memunculkan rasa bencinya. Potensi ini, anehnya, dibaca oleh pihak tertentu sebagai sebuah peluang bisnis. Maka muncullah istilah "bisnis kebencian online" atau e-hate.Â
Saya mulai memperhatikan kebencian demi kebencian bergelombang di jagat maya Indonesia sejak tahun 2014 lalu, dan masih terjadi sampai tulisan ringan ini saya buat. Kenapa itu bisa terjadi? Saya menduga: Karena memang ada pihak yang "mengipasi." Siapa pihak itu? Salah satunya pelaku bisnis e-hate.
Pertanyaan 1: Apa itu bisnis e-hate? Istilah e-hate bukan sebuah istilah baku. Istilah ini baru saja muncul dan belum banyak yang mengetahuinya. Dengan demikian belum ada definisi yang representatif mengenai bisnis e-hate. Namun menurut terjemahan urbandictionary.com, e-hate merupakan kebencian yang tersebar atau disebarkan melalui internet. Dengan demikian bisnis e-hate adalah bisnis yang mencari keuntungan dengan cara menyebarkan kebencian, provokasi, fitnah, dan yang sejenisnya dengan menggunakan media internet.
Pertanyaan 2: Apakah bisnis seperti itu ada? Apa buktinya? Apa Keuntungannya? Saya yakin bisnis ini ada. Sifatnya tentu tidak kasat mata. Hanya daya kritis kita yang dapat mengetahuinya. Jika Anda aktif menggunakan media sosial atau rajin mengikuti forum-forum online yang diadakan media-media besar, maka Anda akan menemukannya. Situs medsos seperti Facebook dan Twitter menurut saya paling banyak dijadikan media penyebaran bisnis e-hate. Biasanya para pelaku bisnis ini menyebarkan sebuah rumor atau wacana yang dapat memancing emosi pembaca. Setelah rumor atau wacana dilemparkan ke tengah publik, tidak lama akan muncul 2 kubu yang saling berpolemik. Mungkin juga terbagi menjadi 3 kubu atau lebih. Namun tentunya kubu ketiga dan seterusnya cuma "penyemangat."Â
Dalam analisa saya, para pelaku bisnis e-hate melakukan gerakannya melaui dua jalan; Pertama, dengan cara membuat konten berbentuk tulisan atau gambar yang provokatif, yang kemudian membuat para pembaca tertipu dan dengan suka rela menyebarkan konten tersebut di internet secara viral. Seiring dengan semakin banyaknya komentar yang tersebar secara viral di media sosial, maka akan semakin banyak para haters (pembenci) yang berdatangan untuk membaca konten tersebut. Ini kemudian akan membuat nilai jual atau popularitas tulisan atau akun si pebisnis e-hate meningkat dan akhirnya akan memiliki harga, misalnya dari iklan. Kedua, pesanan dari pihak tertentu. Pada jalan yang kedua ini, si pelaku bisnis e-hate tidak terlalu memikirkan datangnya keuntungan dari iklan. Tujuan mereka adalah menyampaikan pesan dari si pembayar. Umumnya mereka inilah yang disebut sebagai buzzer.Â
Pertanyaan 3: Topik apa yang biasanya dijadikan umpan e-hate? Ada dua topik utama bagi para pelaku bisnis ini dalam menyebarkan kebencian, yakni topik agama dan topik politik. Memang ada topik-topik lain yang juga "seksi" untuk dijadikan konten provokasi. Namun topik agama dan politik adalah primadonanya. Sepertinya pelaku bisnis ini paham betul bahwa di kedua topik tersebutlah emosi publik gampang tersulut. Â Apalagi kepada orang-orang yang sudah "lelah" menggunakan nalarnya. Jadi jangan heran jika halaman Facebook Anda setiap hari ada saja orang yang gatel ngomongin kebencian atas nama agama atau ideologi politik. Maklumin saja, mereka sedang cari uang.
Pertanyaan 4: Kok pelaku bisnis itu tidak terjerat hukum? Sebetulnya ada beberapa kasus yang pelakunya kena hukum. Saya tidak perlu sebutkan kasus apa saja, Anda pasti pernah membacanya di media. Ini karena provokasi mereka ditenggarai bersifat fitnah, dan masuk ke ranah hukum pidana. Untuk yang belum terkena hukum, mungkin karena ada beberapa alasan: Pertama, mereka jago ngeles. Dengan alasan salah data, lupa, "namanya juga manusia", atau berkilah "ini kan cuma sebuah pendapat," biasanya mereka dapat melenggang dengan aman saat mulai tercium kelakuan busuknya. Kedua, kemungkinan mereka punya "backing" orang kuat. Bukan Superman, tapi orang kuat yang lain. Jika memang ada backing di belakang pelaku bisnis ini, maka kebencian yang disebarkan jelas memiliki motif spesifik. Tapi ini cuma dugaan. Ketiga, mungkin topiknya dianggap tidak terlalu membahayakan.
***
Itu aja sih tulisan ringan saya saat ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H