[caption caption="sumber internet"][/caption]
Oleh: Robby Fibrianto Sirait
"Terjadi penyiksaan, pembunuhan, penculikan ,dan tindakan amoral lain yang dilakukan segelintir orang yang seolah menjadi pahlawan. Di kawasan pantai timur ini goresan itu masih pedih di hati masyarakat terlebih lagi bagi tokoh melayu,” Ucap Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara, Tengku Erry Nuradi di Masjid Raya Al Mashun, Jumat, 4 Maret 2016 dalam acara Melawan Lupa: Peringatan 70 Tahun Revolusi Sosial di Sumatera Timur. Perkataannya itu mengacu pada tragedi revolusi sosial di Sumatera Timur yang terjadi pada bulan Maret 1946.
Tragedi revolusi sosial 1946 merupakan perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh segelintir orang yang bertujuan untuk menghapuskan feodalisme di Sumatera Timur. Segelintir orang ini merupakan orang-orang yang merasa sakit hati dan dan merasa tertindas yang sudah didoktrinisasi komunisme. Penderitaan dan sakit hati itu tinggal menunggu percikan atau pemicu untuk menuju revolusi.
Pemicu itu ialah sikap dari para bangsawan-bangsawan kesultanan yang tidak mau menggabungkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Revolusi pun pecah pada bulan maret 1946 yang mana terjadi pembantaian, penyiksaan, pemubunuhan, penculikan, dan tindakan amoral lainnya terhadap pihak bangsawan dan rakyat di Sumatera Timur.
Dari praktek kekerasan tersebut wajar saja jika Tengku Erry mengeluarkan ungkapan seperti diatas. Apalagi dilihat dari latar belakangnya, dia merupakan keturunan bangsawan. Tetapi, jika ditinjau secara historis, revolusi itu memang patut untuk dimaklumi. Sejarah mencatat, bagaimana sistem perbudakan dipraktekkan dalam perkebunan-perkebunan Belanda di Sumatera Timur.
Sistem itu membuat penderitaan besar pada buruh yang pada saat itu disebut dengan koeli kontrak. Pemberlakuan kontrak kerja membuat koeli kontrak itu semakin tertindas. Mereka dipaksa bekerja selama 13 jam dan akan mendapatkan sanksi berat ketika melakukan kesalahan. Mereka diadili oleh pihak berwenang yang dibuat oleh Belanda, Poenali Sanctie, yang pada saat itu mengawasi kerja tuan tanah dan koeli kontrak. Tapi dalam prakteknya lembaga ini hanya bertugas untuk mengadili koeli kontrak.
Ketika tuan kebun atau pemilik kebun membuat kesalahan, mereka tidak dihukum sama sekali. Akan tetapi ketika koeli kontrak membuat kesalahan, Jan Breman menceritakan para koeli itu akan disiksa, dicambuk sampai mati, diseret pakai kuda dengan tangan terikat, ditusuk kukunya dengan serpihan bambu. Sedangkan untuk koeli kontrak perempuan, digosok alat kelaminnya dengan menggunakan merica halus.
Setiap peraturan yang dibuat oleh Belanda akan selalu merugikan koeli kontrak disana. Penderitaan semakin besar ketika Belanda sengaja membuka lapak perjudian dan perdagangan candu diskitar perkebunan. Upah koeli yang kecil membuat mereka mempertimbangkan untuk bermain judi. Perjudian tersebut pada akhirnya akan membuat uang yang mereka miliki menipis. Alexander Avan dalam Paris Van Soematranya menceritakan, untuk memenuhi kebutuhannya, uang yang dimiliki koeli itu tidak akan cukup. Mereka meminjam uang kepada pihak Belanda, dengan jaminan tubuhnya sendiri. Karena pinjaman itu, seolah-olah mereka bekerja tidak diupah karena harus menutupi pinjaman mereka sebelumnya. Apa yang dikatakan oleh Jan Breman memang benar, para koeli kontrak itu diperlakukan pihak Belanda seperti binatang. Pihak Belanda membuat koeli kontrak sangat menderita.
Pihak kesultanan juga secara tidak langsung telah ikut menyebabkan penderitaan itu. Para bangsawan menerima keuntungan besar dari perkebunan itu karena teleh menyewakan tanah-tanah di Sumarera Timur kepada orang Belanda. Hal ini lah yang nantinya mengakibatkan terjadinya perang sunggal karena adanya sakit hati dari bangsawan lain akibat sikap kesultanan yang semena-mena menyewakan tanahnya kepada Belanda.
Hal itu jelas diketahui oleh koeli kontrak dan penduduk setempat yang juga pro kepada koeli. Oleh karena itu, ketika pecahnya revolusi sosial, mereka ini melakukannya dengan penuh dendam dan sakit hati yang amat tinggi sehingga terjadi tindakan anarkis dan kekerasan yang tak terbendung.