Mohon tunggu...
Robby Fibrianto Sirait
Robby Fibrianto Sirait Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan & Penggiat Gelanggang Sejarawan Muda Indonesia. Instagram: @robbybecksss FB: https://www.facebook.com/robbybecksss

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Lelaki yang Bertas Merah Itu

26 Juni 2016   15:28 Diperbarui: 1 April 2017   08:54 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelaki yang Bertas Merah | Dok. Pribadi

Sore itu aku berlari sekuat tenaga melintasi panjang jalan menuju halte bus di depan Universitas Negeri Medan, tempat aku kuliah. Jalanan begitu sepi dan gelap. Senja telah berganti malam. Ransel kuposisikan di depan dadaku dan aku lari membungkuk agar tas serta buku dan alat tulis lainnya tidak ditembus air hujan. Begitu sampai di halte aku segera duduk di kursi panjang yang terbuat dari beton. Tempat itu juga sepi. Disana hanya duduk seorang lelaki muda memakai tas merah. Rambutnya pendek, kulitnya kecoklatan, matanya sedikit seram, dan badannya cukup tinggi. Dengan sangat pelan, ditarik rokoknya sembari menyentuh-nyentuh layar androidnya. Begitu serius aku memperhatikan dia, tiba-tiba aku sadar bahwa dia kini menatapku tajam. Dengan cepat kupalingkan wajahku kearah jalan. Kini aku begitu ketakutan apalagi ditambahi oleh lampu halte yang remang-remang. Udara dingin dan bajuku yang basah membuat dingin menusuk-nusuk kulitku. Aku menggigil.

Angkot yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Ingin sekali aku meninggalkan tempat ini. Sekali lagi aku menoleh ke arah lelaki bertas merah itu. Dia masih menatapku. Kedua matanya serasa ingin menerkamku. Tiba-tiba dia berdiri kemudian berjalan mendekat ke arahku. Kini dia berdiri di depan tubuhku.

"Apa kau kedinginan?". Aku hanya diam, tak membalas perkataannya. Dia membuka kancing tas merahnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam.

"Pakailah ini" ucapnya lirih. Dia menawarkan sebuah jaket coklat padaku. Kuambil jaket itu tanpa berbicara. Lalu dia berjalan ke arah tempatnya semula. "Terima kasih" ucapku. Dia menolehku dan memberi senyuman yang membuatku tenggelam dalam keadaan. Tak berapa lama angkot yang kutunggu-tunggu menunjukkan hidungnya dari kejauhan. Aku segera berdiri dan mengangkat tangan kanan. Angkot tersebut berhenti tepat di depan aku berdiri. Sebelum aku naik, kuucapkan sebuah kalimat "aku duluan ya, trima kasih sekali lagi".

Keesokan harinya aku jumpa lagi dengan silelaki bertas merah di tempat yang sama. Kini aku langsung duduk dekat di sampingnya. "Maaf, jaketmu tidak kubawa karena masih dijemur". Ucapku dengan lemah lembut. Aku tak menyangka bahwa kami berdua akan berjumpa hari ini. "Gapapa kok", katanya. "Kemarin kita tak sempat berkenalan, aku Fika, jurusan Sastra Indonesia". Ucapku sembari menyalam tangannya. Aku merasakan tangan yang begitu kasar. "Aku Robby, jurusan pendidikan Sejarah". "Wah kalau begitu gedung kuliah kita berdekatan" ucapku sembari melempar senyuman. Seiring berjalannya waktu obrolan kami semakin berkembang dan seru. Aku tertawa dan merasa begitu nyaman duduk disampingnya.

Setelah sampai di rumah aku teringat akan dirinya. Sepertinya ada yang begitu mengganjal dilubuk hatiku. Jiwaku bergelora ketika mengingat senyumannya yang begitu mempesona. Aku pergi ke jemuran mengambil jaket yang tadi subuh aku cuci. Aku membawanya ke kasurku. Kucium jaket itu kemudian meletakkannya di atas tubuhku. Dengan begitu, aku seperti sedang bersamanya.

Aku mendengar suara ayam berkotek. Kulihat jam dinding di depan kamar sudah menununjukkan jam enam pagi. Ternyata aku ketiduran semalam hingga tugas laporanku tak kukerjakan. Dengan segera aku masukkan jaket Robby ke dalam ranselku. Aku pikir kami akan berjumpa di halte habis kuliah nanti. Aku segera ke kamar mandi. Kusirami seluruh tubuhku. Kuambil sabun kemudian menggosokkannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kusiram lagi hingga bersih.

Selesai mandi aku mencari kemeja dan rok yang paling cantik. Aku menemukannya. Setelah kupakaikan ke tubuhku, aku menyemprotkan parfum yang paling wangi dari beberapa yang kumiliki. Kuoleskan bedak pada wajahku. Lalu kugunakan lipstik warna merah jambu pada bibirku. Kemudian aku melihat diriku dalam cermin. Aku rasa penampilanku ini akan membuat Robby terkesima melihatku. Baiklah. Aku akan berangkat ke kampus sekarang.

Waktu sudah pukul enam sore. Aku yang duduk di samping jendela melihat ke arah langit. Sang jingga menghiasinya. Mentari hampir terbenam dan menyisakan sinar yang menghasilkan kejingga-jinggaan. Kini aku tak lagi mendengarkan dosen berbicara. Kini pikiranku berada pada lelaki bertas merah di halte. Aku melamun. Aku tak sadar dosen sudah keluar. Secepatnya aku simpan buku dan pulpen kedalam tas.

Kini aku berjalan menuju halte. Aku berjalan sangat cepat sehingga teman sekelas heran melihatku. Mereka memanggil namun tak kuhiraukan. Aku rasa pada saat itu siapapun yang ada disana tak akan bisa menghentikanku. Sesampainya disana rupanya halte itu kosong. Dia tak ada disana. Apakah dia sudah pulang? Aku tak tahu, Tapi aku melihat waktu suduh pukul 18.45 Wib. Tidak mungkin jam segini dia belum disini. Aku menunggunya. Aku ingin sekali berjumpa dengannya. Sepertinya dia sudah menghipnotis dan menanamkan rindu dalam perasaanku. Kini waktu sudah pukul 19.30 Wib. Aku menyerah. Aku ingin pulang. Aku segera menghentikan angkot yang lewat dari depanku. Setelah aku duduk, seseorang berbicara padaku. "Hai Fika, kita berjumpa lagi". Sontak aku terkejut. Ternyata yang berbicara Robby. Dia duduk dengan seorang perempuan cantik berambut panjang dan lurus. Kulitnya putih. "Kenalkan ini pacarku", ucapnya. Mendengar itu moodku hilang. Ada sesuatu yang sakit didalam dadaku. "Aku Dini" kata perempuan itu sembari mengarahkan tangan kanannya kepadaku. Dengan sangat berat kuangkat tanganku untuk menyalaminya. "Fika" ucapku dengan pelan. Lalu aku mengembalikan jaket coklat kepada Robby. "Ini jaketmu kemarin, Terimakasih". Setelah itu aku tak bicara lagi bahkan ketika aku turun mendahului mereka. Aku merasa benci telah menggantikan kenyamanan yang kudapat darinya. Sesampai di rumah, aku langsung menghempaskan tubuhku ke kasur. Mataku berkaca-kaca. Aku sangat sedih. Memang dia bukan siapa-siapa bagiku. Tapi dia memberikan kenyamanan. Dan aku sudah terlanjur sayang. Aku tak kuasa menahan air mata. Kini ia telah membasahi pipi. Rindu datang menghampiri dan aku tak punya kekuatan menahannya. Aku sadar ini tak bisa dibiarkan. Aku harus membunuh RINDU!!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun