Mohon tunggu...
Robby Fibrianto Sirait
Robby Fibrianto Sirait Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan & Penggiat Gelanggang Sejarawan Muda Indonesia. Instagram: @robbybecksss FB: https://www.facebook.com/robbybecksss

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Sepenggal Cerita tentang Dina

19 Juni 2016   18:59 Diperbarui: 19 Juni 2016   19:06 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya berat rasanya jemariku menekan tombol-tombol di laptop ini. Dengan kedua jari telunjuk tangan kiri dan kanan, aku memulai menulis huruf-huruf yang menjadi beberapa kata dan menjadi susunan kalimat. Jujur, aku merasa takut dan merasa malu mengabadikan setiap kata yang ada dipikiran ini. Nanti kalo dibaca orang yang bersangkutan, bisa malu aku. Sudahlah, kuberanikan saja. Tapi tiba-tiba ideku hilang. Aku lupa. Kini kutak tau apa yang harus kutulis.]

Aku mencoba mengingat-ingat yang telah kurencanakan tadi. Tak berapa lama terlintas wajah seorang wanita dibenakku. Ya, aku mengenalnya. Dia adalah orang yang pernah aku sukai. Paras manisnya terus merasuki pikiranku. Akalku sulit berpikir. Tidak ada yang terlintas dibenakku selain namanya. Dina, Dina, Dina Dina, Dina, Oh Dina. Serasa akalku dapat bercakap-cakap. Hatiku menjadi gundah. Jantungku berdegup kencang memompa aliran darah ditubuh ini. Rasanya darah ini seperti ingin muncrat keluar dari tubuh menembus pori-pori seluruh kulitku. ”Ah, janganlah kau terlalu kencang memompanya. Bisa mampus aku”. Inilah akibatnya kalau aku sering terlalu memikirkanmu, Dina. Dina Onisa Samosir.

Dina, hatiku perih serasa tersayat ketika kau mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata super menyakitkan. “Dang holong rohakku tuho, luluima naasing gabe donganmu” (aku tidak menyukaimu, carilah yang lain menjadi kekasihmu). Saat itu aku terdiam. Tubuh ini layaknya patung, diam tak bergerak. Hanya dada yang sedikit maju mundur menandakan paru-paruku yang masih bekerja memasuk keluarkan udara di hidungku. Uhhh, walau kata-kata itu tidak langsung kau ucapkan didepan mukaku, tapi rasanya amat menyakitkan, seperti rasa pedas yang paling tak kusuka yang selalu membuat muka hitam ini menjadi memerah. Pesan sms itu masih tersimpan dikotak masuk handphone sam#ung jadul miliiku. Pesan singkat itu sengaja kusimpan agar ketika mengingatmu, aku dapat menyingkirkanmu dari pikiran ini, hanya dengan membacanya. Ya, pesan sms itu selalu menumbuhkan kebencian “sesaat” kepadamu.

Aku masih ingat waktu aku pertama kali melihatmu di lapangan sepak bola. Ketika itu ada pertandingan final sepakbola (memeriahkan hari kemerdekaan 17 Agustus 2015) yang berlokasi di desa Ambarita,[1] dekat dengan kampungmu. Aku melihatmu duduk di pinggir lapangan, tepat di sebelah kiri penjaga gawang yang berada disebelah timur. Saat itu kau sungguh anggun dengan rambut panjang dengan sedikit gelombang pada ujungnya. Kaos putih yang kau kenakan sangat sinkron dengan body proporsionalmumu dipadu dengan kulit putih yang membuatku seperti mendidih waktu itu. Ah, kalo kubayangkan, jadi terlena aku. Iya, cinta ini muncul disaat kedua mata ini pertama kali mengarah kepadamu.

Aku tau kau seorang gadis pintar dan cerdas. Kau adalah mahasiswa jurusan Sosiologi di salah satu universitas negeri di Sumatera Utara. Aku mengetahui itu, saat pertama kali menemukanmu di akun facebookku. Aku mengunjungi profilmu dan melihat “sedikit” tentang identitasmu. Disana tertera seperti yang kutulis diatas. Disana aku menemukan beberapa kata yang membuatku begitu tertarik kepadamu. Disana kau tulis, kau menyukai Karl Marx, seorang tokoh sosiologi yang terkenal dengan sosialis radikalnya. Orang dikampungku sering menyebutnya siperintis “komunis”. Dikampungku kata “komunis” sedikit sensitif.

Katanya dahulu orang yang berbau komunis sering kali menghilang entah kemana. Ada juga yang tiba-tiba meninggal. Aku tak tau pastinya kenapa itu bisa terjadi, ah maklumilah aku belum ada di dunia fana ini saat itu. Memang kata buku sejarahku ini ulah mantan presiden kita. Agak segan aku menyebut namanya. Katanya dia anti komunis. Menurutnya komunis berperan besar dalam usaha pembunuhan tujuh pahlawan kita. Kalau aku sih gak percaya, menurutku mereka hanya korban pengkambinghitaman saja. Tapi orang kampungku selalu menganggap komunis sesuatu yang tidak benar. Katanya komunis itu tidak ber-Tuhan. Ah, lagi-lagi mereka gagal paham. Tapi apa benar kau seorang komunis? Aku tak tau, hanya kau dan tukang becak yang tau, hehe.

Kau adalah seorang fans Liverpool. Aku fans Chelsea. Kau pecinta tim merah, aku pecinta tim biru. Sloganmu YNWA, sloganku KTBFFH. Keduanya memang rival. Itu menandakan kau dan aku tidak akan bersatu. Lagian aku sudah tak menginginkanmu. Aku telah melenyapkanmu dari hati yang suci ini. Hahahahah.

Tusssssssssssssssssssss. Tiba-tiba aku mendapatkan kembali ideku. Ide yang sudah kurencanakan itu. Entah dari mana tadi datangnya, aku tidak tau. Wah, ternyata ideku itu adalah kau. Menulis tentang kau. Berarti aku tidak lupa dong. Iya aku tidak lupa, aku hanya pura-pura lupa.

[1] Ambarita adalah sebuah desa yang terletak di Pulau Samosir. Desa ini cukup dekat dengan Tuk-tuk dan Tomok. Jika naik kendaraan dari Tomok ke Ambarita akan menghabiskan waktu kira-kira selama 10 menit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun