Mohon tunggu...
robbyadi afitno
robbyadi afitno Mohon Tunggu... -

politikus dan akademisi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beberapa "Kesalahan" Saya Waktu Pencalegan

17 Mei 2014   21:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:25 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejatinya politik diharapkan mampu menampung segenap aspirasi rakyat, tanpa memandang suku, kasta, agama dan materi, politik dihadirkan untuk mengkerucutkan suatu Ketuhanan yang berkemanusiaan yang dapat mempersatukan perbedaan yang dikejewantahkan dengan permusyawaratan untuk menciptakan suatu rasa keadilan di bumi sejuta ratna mutu manikam, di negeri yang kaya raya, negeri yang terkenal keramah tamahan, negeri yang beradap penuh sopan santun dan etika.

Politik adalah dunia baru bagi saya, yang keseharian berkutat dengan angka dan data, pekerjaan yang jelas hitung hitungannya, kata kakek saya dunia 6+4=10 betul, maksudnya pekerjaan yang betul betul tak bisa dimanipulasi, pekerjaan yang berdasarkan angka dan data menggunakan ilmu pasti yang jelas alat ukurnya, hati kecil saya sangat tertarik ke politik selain sebagai karyawan saya juga sebagai akademisi yang punya ambisi paling tidak dapat menyumbang ilmu dan pikiran saya, tapi begitu terjun ke dunia politik betapa terkejutnya saya, terjun ke dunia yang tak jelas kemana mengarah, ke barat, timur, utara atau selatan kah???. itulah persepsi yang terbentuk  mengenai politik saat ini.

Diawali dengan proses pendaftaran sebagai Caleg dengan persyaratan mengumpulkan KTP minimal 1.500 buah, dengan segala kekuatan mulai dari teman, saudara, tetangga diminta foto copy KTP hingga terkumpul jumlah minimal, dilanjut dengan psycotes dari rumah sakit jiwa daerah yang hanya formalitas saja, hingga terdaftar hingga calon tetap atau DCT, bisa ditebak dapat nomer tapi nomer terakhir tapi tak apalah yang penting bukan nomer urut yang penting suara terbayak, hal ini agak sedikit menenangkan hati seorang pendatang baru dunia politik seperti saya, tapi saya lupa ternyata dilapangan masyarakat lebih mudah mengingat nomer urut 1 (satu) dan nomer urut partai (kesalahan pertama saya), dilanjutkan saya terjun ke masyarakat/sosialisasi 8 bulan sebelum hari H, yang tentunya semakin awal semakin mengeluarkan biaya banyak/high cost (kesalahan kedua) dilapangan ternyata masyarakat tidak butuh visi dan misi yang ditanya berapa "amplop" yang diterima setelah sosialisasi untuk uang bensin dan uang rokok, kemudian saya tidak ada tim sukses, yang ada hanya Tim Keluarga dan Tim Teman saja (kesalahan ketiga) rupanya Tim Sukses ini yang menjadi "provokator" lapangan ditengah masyarakat yang menebarkan isu baik atau buruknya seorang caleg, (kesalahan keempat) saya tidak mengindahkan permintaan petugas PPS, PPK, Panwas, RT, RW, Bayan, Lurah untuk menyediakan sejumlah dana untuk pengamanan dan mencari suara, saya masihberharap ada sekelompok masyarakat yang masih berpikir cerdas untuk memilih wakil rakyat yang betul betul memikirkan kepentingan rakyat, ternyata uang sejumlah 50 ribu hingga 100 ribu masih sangat berarti di tengah tengah masyarakat ketimbang nasib bangsa untuk 5 tahun kedepan, miris memang tapi itulah kenyataannya......masyarakat membenci koruptor tapi mereka terkena tipu daya para calon koruptor, masih ada harapan kedepan bahwa pemilu yang akan datang harus lebih baik dari tahun 2014 ini, mulai dari penyelenggara pemilu harus lebih profesional dan mempunyai kompetensi dan lepas dari campur tangan partai politik terutama untuk KPU dan Panwaslu.

Salam politik yang cerdas!!!!!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun