Mohon tunggu...
Robby Anugerah
Robby Anugerah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sejarawan. Penikmat Sastra. Tertarik Pada Analisis Wacana dan Historiografi Indonesia. Blog saya: http://rabianbulan.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tiket ke Bulan

22 April 2015   09:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:48 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Arter tidak mampu membendung air mata lagi tatkala Dokter Rosalia mengatakan bahwa hidup Sandy tinggal hitungan hari. Bahkan, mungkin lebih cepat dari yang diperkirakan.

“Kau harus tabah,” ucap Dokter Rosalia, berusaha memberi pengertian. “Sejauh ini dia sudah cukup berjuang. Jarang ada yang mampu bertahan sekuatnya.”

Arter menundukkan kepala. Sambil tiada henti menyeka air matanya yang membasahi pipi, dia minta diri dan mengucapkan banyak terima kasih atas kerja keras tim dokter yang telah menangani adiknya.

“Itu sudah kewajiban kami.” Dokter Rosalia lalu mengantar Arter ke pintu ruangannya.

****

Sandy sebetulnya sudah berulang kali mengalami kondisi kritis. Nyawanya berada di antara hidup dan kematian. Apalagi sejak tiga bulan terakhir, dia lebih sering di ruang ICU, mendapat perawatan superketat dari dokter. Arter pun dilarang menemaninya. Dia hanya bisa memandangi Sandydari balik kaca layaknya beruang teddy yang dipajang di etalase toko mainan.

Kadang, bila kondisi Sandy membaik, dia tidak bisa segera ditemui. Ada prosedur yang harus dilalui terlebih dahulu hingga dipastikan penyakit Sandy tidak membahayakan orang lain. Arter muak dengan prosedur semacam itu. Menurutnya, pihak rumah sakit terlalu berlebihan menyikapi penyakit Sandy. Arter lebih suka bila dokter memperlakukannya bukan sebagai pasien, melainkan tamu mereka.

Arter meremas-remas jemari Sandy yang mulai pucat dan terasa dingin. Dia tidak kuasa melihat Sandy bernafas terengah-engah melalui selang yang dipasang pada dua lubang hidungnya. Dia akhirnya memilih mengalihkan pandangan pada sebuah ensiklopedia yang tepat berada di samping Sandy. Ensiklopedia ruang angkasa yang dibelinya tiga minggu lalu. Sandy sangat terkesan pada isi buku itu, terutama pembahasan bulan.

“Jadi, apakah mungkin kita pergi ke bulan?” tanya Sandy kala itu.

“Bukan lagi mungkin, tapi mampu.”

“Betulkah? Lalu, siapa saja yang pernah ke bulan?”

“Aku tidak tahu banyak. Jelas, orang pertama kali ke bulan itu adalah Neil Armstrong.”

“Menggunakan apa?”

“Pesawat ulang-alik.” Arter membuka halaman sembilan belas dari ensiklopedia itu dan memperlihatkan bentuk pesawat yang dimaksudnya kepada Sandy.

“A-po-llo,” eja Sandy, yang diikuti senyum lebar Arter.

“Kau mau ke sana?”

“Mau!” Sandy terlonjak dari tempat tidur karena kegirangan. Dia membayangkan bulan itu sebuah tempat yang sangat luas, dipenuhi padang ilalang, di tengahnya terdapat pohon manggis besar yang setiap saat dapat dipetiknya tanpa harus memanjat. Selain itu, terdapat pula taman bunga beraneka warna dan jenis yang tiada henti menebarkan wewangian sangat tajam. Dia akan berlarian dan menari-nari sejenak di taman bunga itu sehingga tanpa sadar terperosok ke dalam sungai yang airnya amat jernih. Saking jernihnya, dia dapat melihat jelas dasar sungai dan ikan-ikan yang bergerak cepat di celah bebatuan.

“Baiklah,” kata Arter, “pertama-tama kau harus memiliki tiket.”

“Tiket?” Sandy kebingungan.

“Betul, tiket. Bukankah ke mana-mana memerlukan tiket? Naik kereta memerlukan tiket. Naik bus memerlukan tiket. Naik pesawat memerlukan tiket. Pun naik kapal memerlukan tiket. Tiada kendaraan tanpa tiket,” ucap Arter diikuti gelak tawa Sandy.

“Lalu di mana kita bisa mendapatkannya?”

Arter mendengus. “Sebetulnya,” kata Arter, “tiket ke bulan sulit sekali didapati. Soalnya setiap orang berkeinginan ke bulan. Makanya hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapati tiket itu.”

“Misalnya?” Sandy semakin penasaran.

“Misalnya,” Arter mendengus lagi, “orang itu harus ‘ter’ di dunia ini.”

Sandy mengerutkan dahi. Dia tidak paham maksud Arter.

“Begini, ketika tahun lalu kau duduk di kelas nol kecil, gurumu Madam Kollet pasti mengumumkan satu murid yang paling berprestasi pada akhir semester, bukan? Nah, aku yakin sebelum menentukan satu murid yang paling berprestasi itu, Madam Kollet memiliki banyak nama untuk dinominasikan. Maka itu, agar ia mendapatkan satu nama itu, dia harus mencari murid yang ‘ter’.”

“Aku paham,” sambar Sandy. “Maksudmu bila ada sepuluh orang pintar maka dia akan mencari yang terpintar, kan?”

“Ya,” jawab Arter sembari menyelimuti tubuh Sandy dan mengecup dahinya sebagai salam perpisahan sebelum tidur. “Kalau kau menginginkan tiket ke bulan, mulai besok jadilah yang ‘ter’. Tidak harus terpintar, terpatuh pun boleh. Contohnya dalam rumah sakit ini, kau bisa mendapatkan predikat terpatuh bila mengikuti segala hal yang disarankan dokter.”

Sandy mengangguk dan meresapi ucapan Arter. Dalam benaknya, dia tidak boleh melepas kesempatan untuk menjadi yang ‘ter’, walaupun harus berhadapan pada sesuatu yang sangat dibencinya: obat dan suntikan berkali-kali dari dokter. “Demi tiket!” batinnya menguatkan diri.

****

Tak terasa detak jantung Sandy yang tergambar dalam monitor EKG bergerak semakin lamban. Menandakan bahwa Sandy gagal melewati masa kritis. Arter tidak dapat berbuat banyak selain mengencangkan gengamannya pada jemari Sandy dan tiada putus memberikan kata-kata semangat padanya.

Terkenang kembali dalam memori Arter bagaimana ibunya dulu mengalami hal serupa. Saat dokter dan juru rawat hilir mudik mencoba membuat jantung ibunya kembali berdenyut. Dia hanya diam dan menunggu di luar ruang operasi. Sesekali mengintip dari celah pintu yang tersibak karena aktivitas juru rawat yang keluar-masuk ruangan.

Tiba-tiba seorang pria paruh baya bersetelan jas putih rapi mendekatinya. Pria itu tanpa ragu duduk di sampingnya dan menyodorkan gula-gula. Arter sangat suka gula-gula. Dia mengambilnya satu lalu mengucapkan terima kasih. Pria itu kemudian memperkenalkan diri sebagai pemandu wisata bulan. Arter terkejut.

“Bila kau ingin membawaku sekarang ke bulan, maka jawabanku adalah tidak. Aku tidak mau meninggalkan ibuku dalam keadaan seperti ini,” tegas Arter.

Pria itu tersenyum lalu berkata, ”Aku ke sini bukan untuk membawamu. Lagian pula kau tidak memiliki tiket.”

“Lalu, siapa?”

“Ibumu. Dia memiliki tiket. Dan jadwal keberangkatannya sore ini. Sebaiknya kau segera pulang dan mempersiapkan perlengkapan ibumu dalam satu koper. Jangan ada yang tertinggal!”

Arter lekas meninggalkan pria itu dan pulang ke rumah. Dia berlari sekencang mungkin seakan berpacu dengan waktu. Dia tidak mau ibunya tertinggal jadwal karena menunggu koper darinya. Setelah tiba di rumah, dia segera memindahkan semua pakaian ibunya ke dalam satu koper, lalu parfum, sepatu berhak tinggi, jaket berbulu, obat antimabuk, dan perlengkapan menulis. “Ibuku pasti berkirim surat, kan?” tanyanya dalam hati.

Setelah semua dikira cukup, dia menulis pesan di pintu rumah: Bibi, hari ini aku bakal telat pulang. Maka itu, tolong jaga Sandy beberapa jam lagi. Aku akan menambahkan upah. Bila susu Sandy habis. Bibi tinggal ambil di dapur, tepatnya di lemari atas paling kanan. Tertanda, Arter.

Dalam perjalanan kembali menuju rumah sakit, Arter tiada henti menyunggingkan senyuman. Dia benar-benar bahagia. Walaupun bukan dirinya yang pergi, setidaknya ucapan ibunya selama ini mengenai wisata bulan terbukti. Dia telah melihat sendiri pemandu wisata bulan itu datang ke rumah sakit untuk menjemput ibunya.

Dia kemudian teringat kembali kata ibunya sebelum sering keluar-masuk ruang operasi: “Arter! Mulai saat ini kita berlomba. Siapa yang bisa mendapat predikat yang ‘ter’ di rumah sakit ini. Ibu akan berusaha mendapat predikat terpatuh, sedang kau tertabah. Bila satu di antara kita berhasil, kita berhak mendapat satu tiket ke bulan. Ibu sepertinya berpeluang besar mendapati tiket itu.”

****

Seberkas cahaya benderang tiba-tiba muncul dan membesar. Sandy segera beranjak dari tempat tidur dan mengambil koper yang telah dipersiapkan Arter. Dia kemudian melambaikan tangan ke arah seberkas cahaya benderang tersebut. Sederet anak tangga kuning keemasan bersusun-susun mendekatinya, diikuti seorang pria berjas putih rapi yang memperkenalkan diri sebagai pemandu wisata bulan.

“Apa kau siap?” tanya pemandu itu ramah.

“Tentu,” jawab Sandy sambil menyerahkan tiketnya.

“Kau tidak berpamitan padanya?”

Sandy melirik Arter yang pulas di tepi tempat tidur. “Aku rasa tidak perlu. Aku akan berkirim surat saja padanya.”

“Baiklah, mari kita berangkat.”

Pemandu itu menuntun Sandy menaiki tangga, lalu berjalan beriringan hingga hilang ditelan malam.

Sumilir, 2014


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun