Ia juga meminta konteks kepolisian dan jaksa jangan dilihat meragukan bagi pemberantasan korupsi. Seharusnya justru menjadi energi baru. Suparji memberi contoh mantan direktur penuntutan KPK Supandi. Dia 10 tahun di KPK lalu di kembalikan ke Kejaksaan tempat awalnya. Supandi ini diberikan mandat sebagai perwakilan dari Kejaksaan Agung.
"Artinya figur tidak lihat unsur jaksa," katanya.
Suparji kembali mencontohkan Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Arief Budiman datang ke Panitia Khusus KPK di DPR. Padahal pimpinan KPK tidak mau datang ke Pansus KPK. Namun Suparji menilai hal itu menjadi masalah karena itu salah pimpinan KPK yang tidak mau datang.
Contoh selanjutnya kasus cicak buaya jilid 1 dan 2, dimana pimpinam KPK dari unsur Kepolisian Bibit Chandra terjadi ketegangan antara dua institusi penegak hukum itu. "Seharusnya koloborasi, sinergi. Tapi muncul skeptis independensi seharusnya positif peran fungsinya," tuturnya.
Ketika KPK menangani kasus korupsi simulator SIM dan menetapkan Kakorlantas saat itu Djoko Susilo terjadi juga Cicak vs Buaya jilid 2. Jilid 3 terjadi ketika KPK menangani kasus rekening gendut Budi Gunawan (BG). Padahal BG sudah dipilih oleh DPR sebagai Kapolri. Namun Presiden Jokowi membantalkannya karena BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Setekah itu pimpinan KPK Abraham Samad, Bambang Widjojanto dikriminalisasi oleh kepolisian. Keduanya pun mundur dari jabatannya. Kasus BG dinilai Suparji ini janggal karena BG sebelumnya tidak ada pemanggilan terlebih dahulu.
BG lalu mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan menang. Status tersangkanya hilang. Kini BG menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional. Menurut Suparji, konflik kedua institusi tersebut berawal dari kinerja lembaga anti rasuah ini yang tidak baik. Ia kembali menegaskan bahwa pimpinan KPK yang baru nanti harus lebih berani.
Kepentingan DPR
Perlu juga diwaspadai proses pemilihan pimpinan KPK di DPR karena anggota DPR mempunyai banyak kepentingan dalam proses seleksi ini, karena pelaku korupsi didominasi aktor-aktor politik.
Dikhawatirkan juga seleksi di DPR akan menghasilkan pimpinan KPK yang tak bertaji dalam memberantas korupsi politik.
Akibatnya Capim KPK yang dipilih rawan dititipi kepentingan anggota DPR.
Menurut Suparji, hal itu terjadi karena belum menemukam formula paling tepat rentan dari politisasi. Misalnya diserahkan ke Pansel atau Presiden pasti ada untuk transaksi politik. Sebab itu harus ada laporan ke publik kenapa DPR pilih si a atau si b. Hal ini penting dilakukan agar tidak ada penilaian negatif dari publik.