Antara lain rumah susun 4 lantai, kantor Balai Permasyarakatan (Bapas) percontohan, kantor lembaga penitipan anak sementara (LPAS), gudang pengayoman, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), Kampus Politeknik, dan tower pengayoman.
Terkait hal itu, Suparji mengatakan pembangunan Lapas juga harus memperhatikan Lapas yang sudah ada. Jika memang sudah cukup banyak
makaa sebaiknya dicarikan tempat lain.
Jika terlalu banyak maka tingkat kerawanan tinggi. Menurut Suparji, Tangerang tidak perlu dibangun Lapas. "Saya kira sudah cukup," katanya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng mengatakan ada tiga hal dalam konflik ini.
Pertama, masalah kepatutan dan etika sesama pemerintah. Artinya, mereka tidak harus menempuh jalur hukum atau komunikasi tidak berjalan.
Kedua, masalah aturan tanah yang dimiliki Kemenkumham. Ada beberapa bangunan yang sudah di bangun. Namun bangunan tidak sesuai dengan peruntuhan RTH. Jadi kewenangan tata ruang (keluarkan IMB) menjadi kewenangan pemerintah setempat.
"Ini menarik. Bangunan sudah lama ada, tapi IMB nya belum ada? Kenapa tidak dari dulu dipermasalahkan," kata Endi Jaweng.
Ketiga, implikasi publik. Menurutnya, ada administrasi pemerintahan yang tidak boleh korbankan publik. Di mana pemkot Tangerang menghentikan pelayanan listrik, air dan lainnya.
Sebab itu, Jaweng meminta kedua pihak bertemu untuk mencari solusi atas konflik ini. Tidak perlu sampai ke ranah hukum.
"Tidak elok berdebat seperti ini. Mungkin menarik, Jokowi berikan pandangan apabila tidak selesai," ujarnya.
Dia menambahkan, masalah ini hanya soal lahan IMB. Sehingga sudah tepat Wali Kota Tangerang bersikap seperti itu.