[caption caption="orang ceramah pakai istilah asing agar terkesan intelek, padahal yang diceramahi orang desa berpendidikan rendah"][/caption]
Dear diary
Sejak aku sering nulis di medsos, bergaya counterculture, banyak orang mengira aku berotak encer (saking encernya sampai keluar lewat telinga ; kopok). Padahal soal begituan gampang dipelajari, kalau mereka mau berpikir sedikit saja.
Itulah yang aku takutkan dari dulu: dianggap pinter. Padahal disebut bodoh saja aku belum memenuhi syarat.
***
Kau sendiri tahu, dunia semakin benjut saja, masih banyak orang reseh soal perbedaan. Beda berarti musuh. Menyombongkan diri sebagai yang paling unggul, paling benar, paling berkuasa, paling berjasa, sok yes.
Padahal Tuhan sengaja ngasih sudut pandang yang berbeda pada tiap manusia. Pada hakikatnya orang yang menganut agama yang bermacam-macam itu, bukan karena kehendaknya sendiri, tapi ada campur tangan Tuhan.
Makanya aku herman kalau ada yang menganggap orang lain itu najis, kotor, rendah, mbladus gak tau adus koyok wedus.
Hidup adalah karunia. Jangankan dilahirkan jadi idiot, dilahirkan sebagai anjing pun itu sudah bagus. Semua punya peran dalam kehidupan. Jadi, aku tak mau merendahkan orang lain.
Aku merasa beruntung dilahirkan sebagai muslim. Tengkyu Tuhan. Bagaimana jadinya jika aku dilahirkan sebagai Nasrani, Cina, kaum minoritas yang sering dituding-tuding, dibatasi, diteriaki kafir oleh para pengapling surga itu.
Padahal manusia tak bisa menolak jika terlahir sebagai kulit hitam, kulit kuning, bule, bermata sipit, Yahudi, idiot, SLB. Takdir itu pasti, bersyukur itu pilihan.
Karena Tuhan yang menganugerahkan kehidupan pada manusia, maka sebenarnya nggak etis kalau beribadah mengharapkan imbalan. Ibadah itu dalam rangka bersyukur, jika dapat imbalan, kuanggap itu bonus. Tuhan jelas-jelas berjasa pada manusia, kok tidak diakui.